[caption id="" align="alignnone" width="562" caption="Ya, ampun ... -- sekedar ilustrasi, karya Agus Suwage (sumber:artinasia.com)"][/caption]
Terakhir saya berpikir, “Hm, bisa jadi yang butuh itu kita, tapi mereka sendiri berpikir tak penting apa yang dilatihkan!”Oleh JEMIE SIMATUPANG APA YANG MENYENANGKAN tiap kali mengikuti pertemuan-pertemuan (diskusi, seminar, lokakarya, pelatihan, atau apapun namanya) baik yang digagas oleh pemerintah ataupun non pemerintah? Jawab saya: (1) dapat ilmu (2) dapat pengalaman baru—kawan baru, dan (3)—dikatakan setengah berbisik—dapat uang saku atawa wang transport atawa duit apalah namanya di akhir acara (disamping biasanya tiap kebutuhan selama acara berlangsung sudah difasilitasi, pinomat: makan dan penginapan). Dan saya mau bicarakan yang ke-(3), yang diucapkan sambil berbisik-bisik itu: soal wang. Entah lembaga mana yang mulai kebiasaan ini, tapi tahu-tahu ketika saya pertama kali diutus lembaga tempat bekerja untuk mengikuti pertemuan, ya pulang-pulangnya dioleh-olehi panitia dengan amplop dengan kode nama saya: JEMIE SIMATUPANG (hihihi, sebenarnya yang tertulis nama saya asli ding), dilanjutkan: nama lembaga. Dan saya—yang kadang sok idealis ini—menerima amplop itu senang juga. Macam dapat durian runtuh. Pembenaran saya: rezeki tak boleh ditolak, tho!? Besaran amplop itu biasanya berbanding lurus dengan berapa hari kita mengikuti kegiatan itu, semakin lama, semakin banyak juga. Belakangan, beberapa lembaga—khususnya yang non pemerintah—berpikir kalau pemberian segala macam wang itu tak banyak faedahnya—bahkan mudharat. Banyak yang datang ke acara itu karena berharap amplop itu semata. Bahkan model begini konon sudah merambah ke tingkat—apa yang sering dibilang LSM sebagai—basis. Ke tingkat masyarakat. “Lah, mereka datang bukan karena kesadaran permasalahan—tapi kesadaran wang saku,” protes seorang kawan. Ya, ada benarnya. Juga: ada salahnya. Bahkan saya sendiri cenderung yang ke juga: ada salahnya. Karena siapa-siapa yang memulai tiap kali pertemuan dengan masyarakat mesti diberi wang saku, wang transport, wang apalagi namanya itu? Saya yakin itu bukan datang dari masyarakat, pastilah dari atas—tunjuk hidung sendiri: dari lembaga yang membuat kegiatan seperti tempat saya bekerja, tunjuk hidung orang: lembaga pemerintah. Dan mengubah kebiasaan itu, bukan juga hal mudah. Kata orang: tak macam membalikkan telapan tangan: slap! Satu kali kami mengadakan kegiatan pelatihan dengan tajuk: peningkatan kapasitas guru—pendidikan demokrasi lokal. Acara sukses kecuali pada satu sesi—bagi-bagi wang transport. Peserta protes dan mengirim beberapa utusan menjumpai panitia: “Kok amplopnya cuma segini?” Lah, ini masih pakai amplop, cemana lagi kosong sama sekali? Bisa-bisa tak ada lagi yang mau datang kalau bikin kegiatan lagi. Terakhir saya berpikir, “Hm, bisa jadi yang butuh itu kita, tapi mereka sendiri berpikir tak penting apa yang dilatihkan!” “Ya, saya kira juga begitu!” kata Anda. “Itu kegiatan ‘onani’ namanya,” kata Anda yang lain. Tapi yang tidak ditingkat basis juga begitu. Pernah saya ikut kegiatan bertajuk workshop ke luar kota. Asyik. Di samping ini nambah pengalaman, bisa jalan-jalan ke kota baru, nambah kawan, juga setidaknya nambah ilmu, dan syukur-syukur … Acara sukses, banyak ilmu baru, fasilitatornya menarik, penutupan bahkan disambut peserta dengan stading voloation(?) segala. Mantap. Tapi kok ya ada yang tak lengkap ya, setelah celingak-celinguk dan saling tengak-tengok, peserta melangkah agak gontai, wong panitia tak berinisiatif mengolehi peserta kecuali: “ terimakasih dan selamat jalan!” Bah, idealis kampungan saya ini. Memalukan! [] JEMIE SIMATUPANG kompasianer asal Medan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H