Mohon tunggu...
Jemie Simatupang
Jemie Simatupang Mohon Tunggu... Administrasi - Tuhan Bersama Orang-orang Yang Membaca

Pedagang Buku Bekas dari Medan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Demi Masa, Sesungguhnya Saya Sering Molor

25 Januari 2011   08:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:12 813
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sekedar ilustrasi karya Agus Suwage (sumber:www.larasati.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="560" caption="sekedar ilustrasi karya Agus Suwage (sumber:www.larasati.com)"][/caption]

Satu kali Tuhan pernah bersumpah dalam buku suci: “Demi masa!” Akh, betapa pentingnya masa—waktu—pada pandangan-Nya, sampai-sampai Ia bersumpah deminya

Oleh JEMIE SIMATUPANG SEBERAPA PENTING waktu bagi kita? Macamnya tak penting. Atau paling tidak biasa-biasa saja—“Kan sudah tersedia (londonya: taken for granted), tinggal jalani saja, tak perlu diuber-uber tho waktu itu?” Kalau tak percaya, kita (eh, maksudnya saya saja barangkali) tak pernah—benar-benar—protes kalau satu kali saya menghadiri suatu acara yang tak tepat waktu—agak londonya: tak ontime. Jawanya: m o l o r . Paling cuma bergumam, “Sial kok belum dimulai-mulai ya?” atau satu kali malah bersyukur: “Wah untung belum dimulai!” Kayaknya jarang—bukan berarti tidak ada—yang ontime di republik ini. Dari urusan yang formil sampai yang santai-santai. Satu kali saya ditugaskan menghadiri undangan diskusi di gubernuran (narsis: bodoh-bodoh gini pernah juga ikut acara formil-formilan tingkat menengah atas begitu, dan lumayan biasanya pulang-pulang dapat wang transport, hahaha...catatan: yang terakhir itu budaya buruk lain lagi). Undangannya jam 9.00 WIB. Karena waktu itu baru kali pertama, takut terlambat, saya datang jam 08.30 WIB. Belum ada orang. Wajar, kan baru ½ jam lagi acara dimulai. Tak berapalama kemudian datang petugas, rupanya mereka memasang sepanduk—“Oh, benar tempatnya di sini. Kan ada spanduknya,” pikir saya. Spanduk selesai lalu mereka cek soundsistem. Jam 9.00 WIB datang panitia, saya ditanya, “Ikut kegiatan ini, Pak? Silahkan registrasi!”. Oke, saya jadi daftar paling atas. 10 menit kemudian datang 1 orang lagi, 20 menit kemudian 1 orang lagi. Jam sudah 9.45 tapi peserta belum juga datang semua, begitu juga pembicaranya. Akhirnya, setelah menunggu acara dimulai pukul 10.15 WIB tanpa ada permintaan maaf sedikit pun. “Wah, ternyata sama saja, saya pikir karena di kantor pemerintah acara akan berlangsung on time. Okelah!” pikir saya. Sejak itu saya bisa menyesiati bagaimana kalau diundang lagi dan tak perlu menunggu lama. (tengok itu, bukannya mendorong bagaimana agar bisa ontime terus, malah memanfaatkannya untuk hal yang tak elok juga: bagaimana bisa molor) Itu yang formil. Yang bersenang-senang juga begitu. Tengok saja kalau Anda diundang acara pernikahan. Di sana tertera pukul 10.00 WIB tapi bisa molor sampai 11.00 WIB. Sebabnya: (1) mempelai laki-laki terjebak macet (2) tuan kadi sedang melakukan pencatatan pernikahan di tempat lain (3) hujan (4) Anda bisa tambah daftar ini sesuai alasan yang disebutkan mengapa sampai acara itu molor semisal lihat lapak UFO mendarat, lihat putusan Gayus, lihat pidato presiden, dlsb (baca saja: de-el-es-be artinya dan lain sebagainya). Jangan khawatir, tak bakalan ada yang marah-marah, semua kita sudah maklum. Dan bisa-bisa tak ada juga yang mempersoalkan. Satu kali Tuhan pernah bersumpah dalam buku suci: “Demi masa!” Akh, betapa pentingnya masa—waktu—pada pandangan-Nya, sampai-sampai Ia bersumpah deminya. Tapi kita—ciptaan-Nya—kok ya menganggapnya biasa-biasa saja. Tak pala penting. Boleh buang-buang waktu. Molor tak apa—apalagi kalau cuma sedikit. Padahal sesiapa yang menyianyiakan waktu pastilah masuk orang-orang yang merugi. Kita sendiri kayaknya salah membaca ayat Tuhan ini sebagai: Demi masa, sesungguhnya saya sering molor. Aikh...aikh...! Tapi tak semua juga kita tak tepat waktu—molor bagai kolor tua. Budaya tepat waktu ada juga. Misalnya saja waktu naik pesawat terbang (saya belum berani mencontohkannya ke Kereta Api—Indonesia). Kita bisa ontime datang sesuai jadwal yang ditetapkan. Kita benar-benar membaca firman Tuhan: “Demi masa” dan dilanjutkan dengan kata sendiri: “sesungguhnya saya harus datang ke bandara paling lambat 7.30 WIB karena pesawat berangkat 8.15 WIB”. Kalau tidak memang benar-benar merugi, bisa-bisa ketinggalan pesawat. Untung kalau perusahaan penerbangan masih mau melayani perjalanan kita dengan penerbangan berikutnya—dengan tiket itu juga—, kalau dibilang tak berlaku lagi? Wah! Benar-benar merugi dua kali—sekali gagal melakukan perjalanan kedua kehilangan wang membeli tiket. Akh, seandainya saja kita bisa berpikir kalau-kalau semua yang kita kerjakan seperti akan melakukan perjalanan dengan pesawat terbang. Barangkali kita—eh saja kalau Anda tak mau—jadi orang yang lebih maju. Lebih menghargai waktu. Macam orang-orang bule itu yang bilang waktu adalah uang—dan benar mereka jadi lebih maju. Ya tak? (seperti nasehat saya yang dulu-dulu: iyakan saja, biar senang hatinya—maksudnya hati saya sendiri, hahaha ...) Mari, mari, mari, siapa yang mau ikut: pesawatku—eh kita—tak menunggu lama. [] JEMIE SIMATUPANG kompasianer asal Medan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun