[caption id="" align="alignleft" width="357" caption="Pramoedya Ananta Toer, tak aman setelah diamankan Orde Baru (sumber:1.bp.blogspot.com)"][/caption]
Bung Karno selalu mengingatkan: Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Jasmerah!
Oleh JEMIE SIMATUPANG
TIAP JAMAN MEMPUNYAI kegilaannya sendiri, tulis Goenawan Mohamad satu kali di Catatan Pinggirnya. Keedanannya sendiri. Dan tiap keedanan jaman itu juga menghasilkan istilah-istilah, simbol-simbol, dan metafora-metaforanya sendiri—yang kadang tak kelah edan juga. Begitu juga dengan geger G30S terjadi pada 1965 di negeri ini. Seperti yang jamak kita tahu dari sejarah, G30S adalah kudeta—yang secara buku putih penguasa Orde Baru—kudeta yang dilakukan oleh PKI, sehingga ditulis sebagai G30S/PKI dimana pada tanggal 30 September 1965 (malam) pasukan Cakrabirawa—pengawal presiden—dibawah pimpinan Kol. Untung Samsuri melakukan penculikan—dilanjutkan dengan pembunuhan—pada orang-orang (petinggi AD) yang tergabung dalam Dewan Jenderal yang berniat melakukan kudeta sebelum 5 oktober 1965 kepada kekuasaan—Soekarno yang konon pro pada komunisme. Ini semacam serangan pre-emtif, serang dulu sebelum musuh menyerang. Kudeta gagal. Gerakan anti PKI dibawah pimpinan Soeharto kemudian melakukan pembumihangusan PKI—komunis—dari orangnya sampai dengan pikiran-pikirannya. Bergabagai istilah kemudian bermunculan mengiringi peristiwa ini: G30S sendiri, Gestapu, Gestok, Genjer-genjer, Gestapu Agung, Manipol, Manikebu, dll sampai dengan Lonte Agung. Hensri Setiawan merangkum istilah-istilah (pun metafora-metafora) yang ada dan hidup menjelang G30S, saat peristiwa itu berlangsung, dan pasca-G30S (baik yang berkembang di masyarakat umum, maupun yang ada pada orang-orang yang “terlibat” kudeta itu) dalam buku Kamus Gestok (Galang Press, 2003). Ia, Hensri, tak lain merupakan salah seorang korban dari peristiwa ini, ia ditahan tanpa tuduhan dari 1969-1980 dan pernah diPulauBurukan. Menjelang peristiwa itu, Hensri adalah sastrawan yang aktif di Lekra (Lembaga Kesenian Rakyat) yang konon berafiliasi ke PKI. Gestok—yang menjadi bagian judul buku ini—adalah istilah yang dibuat Soekarno yang berarti Gerakan Satu Oktober yang merupakan nama lain dari peristiwa G30S. Akronim itu, tulis Hensri, diajukan dalam sidang kabinet paripurna pertama (9 oktober 1964) setelah peristiwa berdarah itu meletus. Istilah ini sendiri merupakan counter dari istilah Gestapu (Gerakan September Tigapuluh) yang dipropagandakan kalangan anti komunis (AD) melalui RRI dan TVRI. Konon menurut Soekarno, disamping istilah itu tidak benar secara hukum DM, juga bisa menyimpangkan makna dan terpeleset kepada Gestapo yakni Geheime Staatspolizei, yakni Dinas Polisi Rahasia di bawah kekuasaan hitler yang bisa memberangus siapa-siapa yang kontra hitler tanpa proses pengadilan. Penggunaan istilah Gestapu sendiri akan meningkatkan kebencian di kalangan masyarakat terhadap PKI makin tinggi. Dan tampaknya memang sengaja dilakukan oleh Angkatan Darat waktu itu. Lari sedikit, Gestok sendiri, menurut Bung Karno terjadi karena perkawinan beberapa hal: (1) Keblingernya pimpinan PKI (2) Kelihaian subversif neokolim (3) Memang adanya oknum-oknum yang tidak benar. Penggunaan istilah Gestapu (terlebih G30S/PKI) dan Gestok bisa jadi patokan disisi mana seseorang memihak pada waktu itu: pro Soekarno atau kontra-Soekarno. Metafora lain yang menarik misalnya Genjer-genjer. Dalam Kamus ini Hensri menerangkan, bahwa merupakan lagu rakyat Banyu Wangi, yang terkenal pada 1962. Lagu ini diberi notasi oleh M. Arif, kemudian dipopulerkan pada khalayak oleh Bing Slamet. Pada 1965 lagu ini pernah diaransemen untuk paduan suara oleh Moh. Sutiyoso dan diterbitkan Bagian Kebudayaan CC-PKI bersama dengan lagu-lagu rakyat (volk-song) lain seperti lagu-lagu Betawi: Glatik Nguk-nguk, Kr. Kemayoran, dan Jali-jali, yang syairnya dirubah—merupakan penjabaran manipol—Manifesto Politik penguasa. Setelah Orde Baru berkuasa, lagu itu kemudian dilarang. Haram. Karena konon menjadi lagu yang mengiri tarian yang dilakukan oleh sukarelawan Gerwani dan Pemuda Rakyat untuk mengiringi prosesi pembantaian para jenderal di Lubang Buaya. Lagu ini juga dianggap sebagai isyarat peristiwa G30S, karena mengadung lirik “nang kedhokan pathing keleler” (di sawah berhamparan) yang dirubah menjadi “esuk-esuk pathing keleler” (pagi-pagi bergelimpangan): Genjer-genjer (genjer, berwarna hijau, sebagai isyarat jenderal) Isuk-isuk pathing keleler (pagi-pagi bergelimpangan) Dijejer-jejer (dijejer-jejerkan) Diuntingi (diikat) Digawa neng pasar (dibawa ke pasar). Entah benar, entah tidak, tapi karena Orde Baru dibangun atas kebohongan-kebohongan maka saya sendiri mengira lagu ini sengaja distigma agar kemudian tumbuh kebencian di kalangan rakyat kepada PKI—komunisme. Yang menarik juga misalnya istilah “Aman” yang berarti bebas dari segala sesuatu yang menakutkan. Terlindungi. Tapi di zaman Orde Baru, istilah ini berarti kebalikannya bagi kalangan orang-orang yang dituduh terlibat G30S—“tidak aman”. Pramoedya Ananta Toer, sastrawan yang juga diPulauBurukan itu, dalam sebuah memoarnya menulis, bahwa satu kali ia didatangi intel di rumahnya. Malam-malam. Salah seorang dari mereka lalu mengatakan, “Bung Pram, mari kami amankan!” sejak itu malah Pram kehilangan keamanannya sebagai seorang manusia. Ia ditahan tanpa proses pengadilan selama bertahun-tahun. Lihatlah bagaimana Orde Baru membuat penghalusan (eufumisme) bahasa atau malah membolak-balik logika bahasa. Banyak lagi istilah lain yang dirangkum Hensri di buku ini serba sepintas misalnya: manikebu yang terdengar sebagai mani kerbau yang dialamatkan kepada menifesto kebudayaan, kalangan sastrawan yang membela humanisme universal dan kontra terhada lekra (lembaga kebudayaan rakyat), Gestapu Agung yang dialamat kepada Soekarno yang dicurigai mendalangi G30S, lonte agung yang dialamatkan kepada hartini Soekarno yang menjadi anggota Gerwani, dan pernah terlibat percintaan dengan sejumlah pejabat tinggi waktu itu, dll. Buku ini tentu sangat bermanfaat untuk mengetahui apa yang terjadi waktu itu dari perspektif istilah-istilah ataupun metafora yang digunakan. Walaupun peristiwa itu telah berlalu, tapi sebagai dokumen sejarah tentu buku ini sangat berharga. Paling tidak agar kita tak lupa pada sejarah dan kemudian terjebak pada peristiwa-peristiwa serupa karena tak pernah belajar darinya. Bung Karno selalu mengingatkan: Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Jasmerah! Kiranya buku ini menjadi salah satu usaha memenuhi semangat itu. Salute untuk Hensri! [*] JEMIE SIMATUPANG kompasianer asal Medan. TAK PENTING atawa OOT: buku ini saya beli dengan harga Rp.5.000 kemarin, waktu ada obral di Toko Buku Sembilan Wali—Medan. Buku-buku menarik lain yang saya beli dengan harga Rp.3000-Rp.10.000: Batas-batas Pengobatan (Ivan Illich), Kecil Itu Indah (EF.Schumacher), Akulah Angin, Engkaulah Api (Annemarie Schimmel ), Dialog dengan Kekuasaan (Soetjipto Wirosardjono), Muslim, Teror dan Dialog (Chandra Muzaffar), Harmoni (Ras Siregar), Spiritual Pos Religius Eksplorasi Hermenutis, Figurasi Agama dalam Praktis Filsafat Nietzche (Tyler T Robert), Bobos In Paradise (David Brooks), dan Tongkat El Hakim (Dr. El Hakim).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!