[caption id="" align="alignleft" width="309" caption="Indonesia merdeka tak terlepas dari pendidikan yang digagas di tengah rakyat terjajah (sumber:3.bp.blogspot.com)"][/caption]
Semua orang
itu guru
alam raya
sekolahku …
Oleh JEMIE SIMATUPANG SEJATINYA, PENDIDIKAN SEBAGAI PROSES YANG BERTUJUAN memerdekakan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Merdeka dari penindasan, merdeka dari kebodohan, merdeka dari kezaliman, merdeka dari penghambaan—perbudakan, dan merdeka dari segala macam hal yang menjajah manusia. Itu juga yang menjadi titik tolak Ki Hajar Dewantara, ketika merintis pendidikan untuk rakyat Indonesia waktu itu—jaman Belanda. Ia menginginkan timbulnya kesadaran di kalangan rakyat untuk memerdekakan diri dari penjajahan yang telah berlangsung ratusan tahun hingga diamini sebagai kelaziman (bukan kezaliman)—tak ada yang salah dengannya. “Pengajaran dan pendidikan adalah sarana penyebaran benih hidup merdeka di kalangan rakyat,” kata Ki Hajar Dewantara. Tapi rezim kolonial yang berkuasa mengharamkan pendidikan model ini. Mereka takut, kalau orang-orang yang terlibat dalam pendidikan ini sadar, kemudian melakukan pemberontakan pada kekuasaan yang ada. Mengantisipasinya: sekolah-sekolah yang kontra dengan kurikulum resmi—yang didalamnya dinyatakan bahwa dunia sedang baik-baik saja, kolonialisme itu tak ada cacatnya, dlsb—itu pun dicap sebagai sekolah liar. Terlarang. Sekolah-sekolah itu kemudian ditutup—dibredel. Aktifitas gurunya diawasi, dimata-matai, kalau-kalau saja mereka melakukan aktifitas pendidikan di rumahnya—atau di lain tempat. Tapi guru-guru progresif seperti Ki Hajar Dewantara tak gentar. Mereka maju terus melakukan proses penyadaran di tengah-tengah rakyat terjajah. Pantang menyerah. Sedikit-banyak kemudian kemerdekaan yang didapat Indonesia pada 1945 tak terlepas dari benih-benih pendidikan anti kolonial yang digagasnya dan menjadi kesadaran kolektif rakyat Indonesia. Setelah merdeka, pendidikan model Ki Hajar Dewantara itu diadopsi, dijadikan model pendidikan nasional. Kurikulum yang berbau kolonial kemudian dihapuskan. Dengan semangat 45, maka semuanya sebisa mungkin bercita-rasa Indonesia. Revolusioner. Tapi, sebagai galibnya kekuasaan, ia cenderung korup, dan membentuk status quo baru yang tak boleh diganggu-gugat. Untuk mempertahankannya dilakukanlah rekayasa—salah satunya—melalui pendidikan lagi—sebagai jaman Belanda dulu. Kurikulum nasional dibuat. Di dalamnya diajarkan pemikiran-pemikiran resmi kekuasaan, yang mendongengi anak bangsa dengan segala macam kebohongan—dari kebohongan sejarah sampai kebohongan masa kini. Ini sangat terasa misalnya pada saat Orde Baru, di bawah Jenderal Besar Soeharto, berkuasa. Semua kurikulum di seragamkan, dari Sabang sampai Merauke, dari Timor sampai Pulau Rote. Tak ada yang berbeda—walaupun bhineka tunggal ika jadi pandangan hidup bangsa Indonesia. Pancasila tafsir Soeharto kemudian dijadikan ideologi harga mati—ideologi tunggal. Diluar itu haram. PKI. Subversif. Komunis. Atheis. GPK. Dan segala macam label lainnya. Ini kemudian diajarkan dari bangku SD—melalui PMP (terutama) dan pelajaran lain—sampai ke perguruan tinggi. Sekarang yang terjadi adalah kaum tertindas setelah merdeka menjadi penindas baru. Hakikat merdeka ternyata belum diamini sepenuhnya oleh penguasa—karena ketika merdeka seharusnya proses penindasan hapus dan ia tak boleh menjadi kelas penindas baru. Pada posisi ini kemudian kritik Paulo Freire menjadi relevan, bahwa pendidikan—sebagaimana juga Ki Hajar Dewantara—adalah membebaskan manusia dari penindasan, baik yang tertindas maupun penindas. Namun karena posisi kaum tertindas sangat lemah, maka proses penyadaran dimulai dari mereka. Pun akan sulit juga menyadarkan penindas terlebih dahulu, karena ini soal menggugat kekuasaan yang mereka miliki. Tak heran kemudian, pada kurun Orde Baru berkuasa, Pendidikan Kaum Tertindas-nya Paulo Freire menjadi semacam kitab suci bagi kalangan pergerakan yang percaya bahwa proses mengubah keadaan adalah melalui pendidikan yang memerdekakan. Buku itu dipelajari juga dipraksiskan dengan berbagai varian, tidak di sekolah, tapi di tengah-tengah masyarakat yang tingkat kesadarannya berada pada posisi naif—menerima apa adanya sebagai nasib yang tak bisa dirubah (sebagai waktu jaman penjajahan dulu). Ia dipraksiskan pada kaum buruh, tani, nelayan sampai anak jalanan. Gerak rakyat waktu itu menentang rezim Orde Baru sedikit banyak mesti dipengaruhi oleh pendidikan ala freireian ini. Lihat saja misalnya lagu anak (rakyat) merdeka yang sering nyanyikan rakyat tertindas pada waktu itu. Belajar sama-sama Bertanya sama-sama Kerja sama-sama Semua orang itu guru Alam raya sekolahku Sejahteralah bangsaku! Sangat kentara kalau maknanya merupakan counter dari pendidikan yang digembar-gemborkan oleh rezim, bahwa sekolah terbatas pada “sekolah” saja, bahwa guru terbatas pada mereka yang berprofesi sebagai guru—yang berpendidikan guru, dan dengannya berarti harus menerima segala macam pelajaran yang di sekolah sebagai suatu kebenaran yang defentif—atak boleh dikritik. Juga bagaimana proses belajarnya dimana biasanya guru mengajar dan murid belajar, tapi dilagu ini diwacanakan kalau itu harus dilakukan bersama-sama, tak ada guru tak ada murid—semuanya partisipan pendidikan yang akan memecahkan persoalan dari hasil bertanya sama-sama—persoalan yang memang menjadi persoalan mereka. Ya, sekarang Orde Baru telah tumbang. Reformasi bergulir. Pun begitu hakikat pendidikan sebagai alat memerdekakan manusia belum juga kita amini secara penuh hati. Proses penindasan itu—entah halus entah kasar—masih terus berlangsung. Sekolah masih menjadi layaknya penjara bagi masyarakat, yang mengkungkung mereka agar menerima bahwa satu-satunya pendidikan adalah melalui jalur ini. Di luar itu, tak ada pendidikan. Ini terbukti misalnya tiap kali melamar pekerjaan—PNS misalnya—penguasa menyaratkan ijazah. Sebagai kita tahu ijazah adalah produk resmi dari sekolah atawa lembaga yang diformalisasi lainnya. Ivan Illich misalnya secara radikal mengkritik fenomena ini dengan mengatakan “bebaskan masyarakat dari sekolah!”—deschooling society—karena sekolah sudah mati sebagai tesa Everet Reimer. Di sekolah bukanlah pendidikan yang didapat masyarakat, tapi sebaliknya: pembodohan—ketidakberdayaan. Terlebih lagi melihat proses-proses di dalam sekolah yang sering membuat peserta didik tak bisa berkutik dan harus tunduk. Seragam sekolah yang harus dipakai, buku yang mahal (konon sekarang ada BOS), mata pelajaran yang tak ada pilihan, guru yang kaku, metode mengajar membosankan, dlsb sampai dengan persoalan ujian nasional. Yang terakhir malah banyak membuat anak-anak yang bersekolah menjadi stress, karena menjadi standar bagi kelulusan seseorang. Sudah jadi berita lazim misalnya mendengar seorang anak bunuh diri hanya gara-gara tak lulus ujian nasional—karena baginya adalah kiamat. Tak bisa dipungkiri itu adalah produk dari pendidikan itu sendiri. Tentu kita tak bisa menelan mentah-mentah apa yang mereka—para pengkritik itu—katakan kalau kemudian kita belum punya alternatif bagi sekolah. Layaknya demokrasi, ketika ia memiliki cacat—paradoks—bukan kemudian kita membuang demokrasi, tapi tetap menggunakannya dan terus berdialektika di dalamnya. Sekolah yang bebas, yang memerdekakan itu, masih bisa diupayakan kalau orang-orang yang terlibat di dalamnya menghendaki. Dan kritik-kritik terhadap sekolah formal bisa menjadi pijakan di bagian mana yang harus diperbaiki. Ini memang persoalan klasik. Sangat-sangat. Dan bisa jadi sebagian orang akan berkata: “Akh, Anda kan bicara praktik pendidikan dulu, pada waktu Anda sekolah dulu, jaman telah berubah, Bung!—sekarang mana ada lagi seperti itu?” Tapi kalau saja kita melihat semua yang berlangsung di dunia pendidikan, membuat kita berpikir lagi, sudahkah pendidikan kita membuat manusia menjadi merdeka sebagaimana dicita-citakan Ki Hajar Dewantara? [] JEMIE SIMATUPANG kompasianer asal Medan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!