Mohon tunggu...
Jemie Simatupang
Jemie Simatupang Mohon Tunggu... Administrasi - Tuhan Bersama Orang-orang Yang Membaca

Pedagang Buku Bekas dari Medan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Wakil Rakyat, yang Tak [Kunjung] Merakyat

14 Januari 2011   08:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:36 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="alignleft" width="347" caption="wakil rakyat seharusnya merakyat, jangan tidur waktu sidang soal rakyat (karya Agus Suwage sumber:farm2.static.flickr.com)"][/caption]

Jadi apa? DPR? Alah, Cok! Soal kesempatan juganya itu, dulu wakil wakil rakyat yang duduk sekarang itu, macam kau ini juga ngomongnya, bahkan lebih dahsyat lagi, tapi tengok sekarang. Apa?

Oleh JEMIE SIMATUPANG
WAKIL RAKYAT, SEHARUSNYA merakyat! Begitu lantun Iwan Fals beberapa belas—puluh—tahun yang lalu. Ia jengah melihat fenomena wakil rakyat (DPR) waktu itu (baca: Orde Baru) yang seharusnya menyuarakan aspirasi rakyat, tapi hanya diam saja. Hanya inggih dan setuju saja tiap kali ada rapat. Karena menurutnya, “Di hati dan lidahmu kami berharap, suara kami tolong dengar lalu sampaikan. Jangan ragu jangan takut karang menghadang. Bicaralah yang lantang jangan hanya diam!” Sekarang Iwan Fals sudah tua, suaranya sudah tak selantang dulu lagi. Parau. Tapi apa yang dikritiknya waktu dulu, belum lagi berubah sampai sekarang, sampai rezim reformasi begini. Ya, memang mereka—wakil-wakil rakyat itu—tak diam lagi, mereka lantang bicara sekarang. Vokal. Banyak hujan air liur interupsi tiap rapat-rapat. Tapi apa yang mereka ributkan bukan juga karena menyangkut persoalan rakyat banyak, lebih kepada pembelaan nasib mereka, partai mereka, kekuasaan mereka. Rakyat? Nanti dulu … COK KOMPAS, yang aktif-tak aktif ngeblog di kompasiana, yang juga pantang tak top itu, mengikuti perkembangan berita di tanah air, palak juga ketika mendapat kabar DPR merencanakan pembangunan gedung baru, beberapa bulan yang lalu. Bahkan rasa palaknya belum bekurang sampai sekarang. “Mat, udah tahu tidak kalau gedung itu nanti dilengkapi juga dengan kolam renang?” katanya bertanya pada karib setianya, Mat Tanduk. “Baru tahu Lae. Tadi pun Pak Marzuki Alie, ketua DPR itu, udah klarifikasi di kompasiana. Konon itu untuk sumber air pemadam kebakaran kalau-kalau terjadi kebakaran. Pun biar pegawai-pegawai di sana bisa berenang, bisa olahraga. Artinya bukan untuk kepentingan mereka!” Mat Tanduk menjawab sambil klik sana klik sini di PC miliknya. “Bisa jadi memang begitu, wak! Okelah itu. Tapi apa ya perlu kali gedung itu? Fasilitas-fasilitasnya yang wah-wah itu?” “Ya, kan namanya mereka terhormat, masak sih kita biarkan tinggal di gedung yang tak terhormat? Yang jadul? Yang ringkih?” “Lah, tapi kan rakyat yang mereka wakili kan masih banyak yang menderita, miskin, papa, tak punya apa-apa. Jangan gedung mewah, gubuk reot saja tak punya. Makan sehari sekali pun harus banting tulang. Masak pulak mereka tak berempathi? Hmm, mereka itu wakil rakyat  tidak, sih?” “Akh, kalau itu lain lagi ceritanya, Lae. Memang begitulah sudah, dari Jaman Adam Malik sampai jaman Adam Air sudah ditutup sekarang,” “Ya, kok saya merasa mereka itu membela kepentingan mereka saja? Kelompoknya? Partainya? Lah, lumpur lapindo itu kok mereka diam saja sampai sekarang, padahal banyak tho, rakyat yang mereka wakili kena lumpur yang muncrat dari perut bumi ulah pengusaha-politikus itu? Gitu juga century, mau dibawa kemana? Berapa triliun itu uang rakyat yang raib? Cuma hangat sebentar lalu masuk ke kulkas. Kok diam-diam saja sekarang. Cemana itu, coba!?” “Mungkin seperti kata Gesang alm., Lae. Akhirnya ke laut juga!” KOMPAS HARI INI (14/01) menurunkan artikel: Gedung Parlemen, (Mestinya) Simbol Perlawanan. Diceritakan kalau gedung lama itu dulunya juga sebagai bentuk perlawanan dari kekuatan hegemoni negara-negara hebat—juga dalam kontruksi. Kita membuktikan kalau bisa juga membangun gedung bagus nan kokoh. Dan kini saya membayangkan kalau pun wakil rakyat itu bikin gedung maka itu juga bentuk perlawanan—lebih tepatnya penyeimbang—dari kebijakan-kebijakan penguasa—eksekutif—yang tak populer, yang tak pro rakyat. Bukan malah tak ada bedanya antara wakil rakyat dengan penguasa. Lalu siapa yang mengontrol? “Wah, saya membayangkan sebuah negeri di mana wakil mereka berkantor di jalanan ketika rakyat memang sedang susah. Ada selalu di tengah-tengah mereka!” “Akh, mana ada yang macam gitu!” “Ada, kalau saja aku menjadi …” “Jadi apa? DPR? Alah, Cok! Soal kesempatan juganya itu, dulu wakil-wakil rakyat yang duduk sekarang itu, macam kau ini juga ngomongnya, bahkan lebih dahsyat lagi, tapi tengok sekarang. Apa?" “Sial, Bah!” Di radio tetangga terdengar sayup-sayup Iwan Fals bernyanyi lagi: wakil rakyat seharusnya merakyat, jangan tidur waktu sidang soal rakyat… [] JEMIE SIMATUPANG wakil Cok Kompas di Kompasiana, aktif menyuarakan suara Cok Kompas and Co. di blog sejuta ummat ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun