Mohon tunggu...
Jemie Simatupang
Jemie Simatupang Mohon Tunggu... Administrasi - Tuhan Bersama Orang-orang Yang Membaca

Pedagang Buku Bekas dari Medan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Setahun Setelah Prof. Tjip: Sudahkah Berhukum dengan Hati Nurani?

8 Januari 2011   03:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:50 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="alignleft" width="302" caption="Satjipto Rahardjo (1930-2010) Sang Profesor Hukum Progresif (sumber:2.bp.blogspot.com)"][/caption]

/do/

DELAPAN JANUARI 2011 INI, genap setahun Satjipto Rahardjo (1930-2010) meninggalkan kita. Ia pergi dengan damai menghadap Yang Punya Hidup Sejati. Siapa Satjipto Rahardjo? Apa pentingnya dia? Di dunia hukum, Prof. Tjip—begitu dia biasa disapa—dikenal sebagai seorang teoritisi yang selalu mendorong perkembangan hukum ke arah yang lebih baik. Tak mau terpaku dengan dogma hukum thok. Hukum mesti bisa hidup, mengikuti perkembangan masyarakat. Karena pemikirannya itu, banyak kalangan menjuluki Pak Tjip sebagai profesor hukum progresif. Prof. Tjip jengah ketika melihat hukum membuat manusia tak bahagia. Sengsara. Atau cuma menyenangkan segelintir kelompok—elit—saja. Dalam kedaan begini, Prof Tjip tak bosan-bosan mengingatkan filosofi mengapa hukum itu dibuat oleh manusia. “Hukum bagi manusia, bukan manusia untuk hukum,” tekan Prof. Tjip selalu. Tiap kali ada perkara hukum di Indonesia yang jadi sorotan khalayak, Prof. Tjip akan melemparkan wacana bagaimana solusi, jalan keluar, perkara itu ke ruang publik—media massa. Ia penulis yang baik. Waktu kasus “cicak vs buaya” mencuat misalnya, Prof. Tjip menulis “Berhukum Dalam Keadaan Tak Normal” di halaman opini Kompas—harian nasional ini memang media yang dipercayanya untuk menampung dan menyebarkan gagasan-gagasan briliannya, beberapa kumpulan tulisannya di harian ini juga telah diterbitkan sebagai buku. Menurutnya, dalam keadaan tak normal, sebagaimana terjadinya kasus “cicak vs buaya” dulu, yang jadi sorotan mata masyarakat, dan dimana lembaga penegak hukum tak lagi mendapat kepercayaan, maka penegak hukum harus berani mencari terobosan hukum. Kreatif. Tak hanya berpatok pada hukum tertulis an sich. Dengan begitu diharapkan rasa keadilan itu masih bisa lagi turun ke bumi—tidak di awang-awang saja. Dan yang terpenting bagi Prof. Tjip, tiap penegak hukum itu haruslah menanyakan hati nuraninya tiap kali membuat keputusan-keputusan hukum: “Apakah benar yang telah saya lakukan?” /re/ COK KOMPAS—Sudah diingatkan sebelumnya, nama Cok Kompas tak ada hubungannya dengan kompas[iana] walau Cok aktik-tak aktif ngeblog di sana, itu cuma julukan kawan-kawannya karena Cok suka mengompas waktu SD dulu, memalak, Cok memang terkenal bandal ketika kecil, tapi sekarang dia sudah tobat, katanya: “Masak sih udah tua-segini masih bandal juga, masih jahat juga, masih suka ngompas juga?”—sebagai seorang yang sedikit-banyak pernah belajar hukum di salah satu universitas punya nama di kotanya, Medan—jangan sepele ya, danga-danga gitu Cok itu sarjana juga lho, hukum lagi, cuma nasibnya aja yang gitu-gitu saja, pas-pasan kalau tak mau dibilang melarat, padahal kawan-kawannya udah jadi orang semua. Loh kok jadi menggosipin Cok!?—menaruh simpati khusus pada Prof. Tjip. Kekagumannya hampir sama dengan Bismar Siregar, praktisi hukum itu, yang waktu menjadi hakim berani melakukan terobosan-terobosan hukum. Bismar misalnya satu kali pernah membuat keputusan bahwa seorang perempuan yang diperkosa bisa mendapat ganti-rugi dari pemerkosanya. Dalam hal ini Bismar menyamakan vagina perempuan dengan bondo—benda: jadi barang siapa merusak benda orang lain, maka wajiblah orang lain itu mengganti rugi. Itu analoginya. Walaupun ditingkat kasasi, di Mahkamah Agung, keputusan Bismar ini dibatalkan, tapi paling tidak ini langkah maju Bismar—hakim—dalam membuat hukum. Jika Prof. Tjip di dunia teoritis, maka Bismar melakukannya di dunia praksis. Bagi Cok Kompas, Prof. Tjip adalah sosok yang menjunjung tinggi idealismenya. Konsisten. Ia tetap setia sebagai intelektual hukum yang menjadi penyeimbang, counter, ketika penguasa arogan dalam berhukum. Berbeda misalnya dengan sebahagian praktisi-praktisi ataupun teoritisi-teoritisi hukum yang bisa saja menggadaikan hati nuraninya, asalkan saja dibayar dengan banyak uang. Ia tak mau melacurkan keintelektualannya. “Begitulah, Wak,” kata Cok Kompas pada Mat Tanduk, sahabat karib Cok, “berseberangan dengan pemikiran Prof. Tjip, para penegak hukum sekarang itu sebagian—sebagian lo Mat, tidak semua, catat itu—akan lantang membela siapa saja, memenangkan siapa saja, membebaskan siapa saja, asalkan dibayar,” “Jadi, maju tak gentar membela yang bayar dong!” kata Mat Tanduk menyambar. “Awak sendiri yang menyimpulkan begitu!” “Oo, kalau gitu pantaslah kalau Gayus bebas melenggang ke Bali, plesir, nonton pertandingan tenis internasional. Pasti karena bayar, tho. Bayar penjaga, bayar polisi, bayar…bayar…. Kan dia punya uang hasil kejahatannya menggelapkan uang pajak—uang rakyat—ber-em-em jumlahnya itu kan! Semalam saya bilang ini bagian dari kerja-kerja mafia di negeri kita, macam The Godfathernya Mario Puzo itu, tapi kau bilang aku mengada-ada, Lae?” kata Mat Tanduk mencoba mengkaitkan dengan apa yang terjadi. Tiga hari yang lalu—yang dalam bahasa Medan Mat Tanduk boleh saja dibilang “semalam”—Mat Tanduk mendongengi Cok Kompas soal kehidupan mafia asal Sisilia—Italy yang ada di Amerika dulu. Mereka, mafia-mafia itu, bisa mengendalikan hukum sesukanya—dengan uang yang mereka miliki. Mat Tanduk kemudian mengaitkannya dengan keadaan yang ada di negeri ini, ia bilang tak jauh beda dengan yang ada di dalam buku Mario Puzo itu; mafia telah berkuasa di setiap lini kehidupan, dan penegak hukum tak bisa berbuat apa-apa—karena bisa jadi juga mereka bagian dari kaki-tangan mafia itu. “Ya, bisa jadi begitu. Mereka, penegak hukum itu, pelayan rakyat itu, tak mau lagi, seperti wanti-wanti Prof. Tjip: mendengarkan hati nuraninya, apakah perbuatannya membebaskan Gayus agar bisa plesir ke Bali itu benar atawa salah. Nuraninya mati. Tapi itu sebagian loh, sebagian saja. Catat lagi itu,” Cok Kompas menguatkan. “Akh, memang masih ada penegak hukum yang berhati nurani di negeri para mafia ini? Saya sendiri jadi teringat Gus Dur, kan menurutnya polisi yang baik itu cuma ada tiga: Pak Hoegeng alm, patung polisi, dan polisi tidur,” Mereka terbahak sebentar—bersama-sama. “Gus Dur cerdas menyindir. Tapi jangan terlalu apatis Mat. Sebenarnya banyak juga penegak hukum itu, polisi itu, jaksa itu, hakim itu, pengacara itu yang baik—yang berhati nurani” /mi/ YAKH, KITA hari ini kita memperingati setahun haul Prof. Tjip. Entah ada publik yang ingat, entah tidak, entah juga. Tapi semoga masih banyak orang-orang macam Cok Kompas, yang tak mau lupa—Ssstt…, tapi ini jangan sampai didengar Cok Kompas ya, bisa naik sebelah kupingnya dan hidungnya yang pesek itu bisa kembang-kempis juga, dia itu kadang ada juga ompak-ompakannya—di tengah ngerinya wabah amnesia menyerang daya ingat kolektif kita—sengaja atau tidak sengaja. Lebih dari itu, yang terpenting tentu saja mempraksiskan ajaran-ajaran  Prof. Tjip, berhukum dengan hati nurani. Dengan semangat itu, semoga penegak-penegak hukum di negeri kita ini bisa membongkar semua kejahatan-kejahatan publik yang telah banyak merugikan rakyat. Tak terbatas cuma menghukum mereka yang maling ayam, pembobol ATM, dan perampok supermarket. Karena sesungguhnya, kejahatan yang dilakukan para mafia sebagai kata Mat Tanduk: mafia pajak, mafia hukum, mafia politik, tak ada apa-apanya dibandingkan dengan maling ayam itu, pembobol ATM itu, atau perampok supermarket itu. Tapi ini tak juga dalam rangka memandang kejahatan maling ayam itu bisa dimaafkan—kejahatan tetap kejahatan. Membongkar perkara Century Gate, perkara pengemplangan pajaknya perusahaan Bakrie yang mestinya jadi induk perkara Gayus, kasus … “Lae, udah dengar berita terbaru? Itu Gayus udah ngaku selain ke Bali ia pernah pergi ke Singapura juga, ke Malaysia juga, ke Makau juga. Gila! Saya pikir itu foto-foto yang kemarin tersebar di internet buat heboh-hebohan saja, foto-foto lama sebelum dia jadi tahanan, tak tahunya. Bisa saja ya petugas-petugas itu, polisi itu, pegawai imigrasi itu dibayar sama Gayus?” kata Mat Tanduk tiba-tiba, pamer informasi terbaru pada Cok Kompas. “Yang benarnya? Super sekali Gayus itu, jangan-jangan, ini firasat saya saja ya, salah menterjemahkan Mario Teguh, ya dia!? Hahaha…Bercanda awak Mat! Tapi soal petugas, tak semua mereka begitu, Wak. Itu sebagian saja. S-e-b-a-h-a-g-i-a-n. Udah dicatat kan tadi? Percayalah. Masih banyak loh polisi yang baik, petugas imigrasi yang baik, jaksa yang baik, hakim yang …” Belum sempat Cok Kompas menyelesaikan omongannya, Mat Tanduk sudah berlalu—bergegas. “Loh, Mat mau kemana?” “Ke toilet, sesak awak tiba-tiba …” [*]

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun