[caption id="" align="alignleft" width="360" caption="“Hidup itu harus kiri. Harus kritik pada kemapanan. Jangan sekali-kali percaya dengan penguasa. Kudu curiga,” terang Jack Palak tentang sikapnya. (sumber:koranbante.com)"][/caption] SIAPA ORANG-ORANG YANG MENGAKU KIRI ITU? Percaya tak percaya, bisa juga dilihat dari stelannya. Penampakannya. Walaupun orang model ini katanya tak peduli dengan penampilan, tapi kan ketidakpedulian akan stelan kan sebuah—yang latah kita bilang—lifestyle juga? Tengok saja penampilan Jack Palak, sudah pasti bukan nama sebenarnya, salah seorang kawan SD Cok Kompas dulu—yang terakhir ini aktif-tak aktif menyebar gagasan di blog sosial kompasiana. Ia, Jack Palak itu kan ngakunya aktifis, pembela kaum marjinal, kritis dengan kebijakan penguasa, sering demo turun ke jalan dengan mahasiswa, tukang becak, buruh, dan siapa-siapa yang tertindas itu. “Hidup itu harus kiri. Harus kritik pada kemapanan. Jangan sekali-kali percaya dengan penguasa. Kudu curiga,” terang Jack Palak tentang sikapnya. Lihat stelannya. Bajunya biasanya kaos oblong bernada protes atau gambar-gambar tokoh-tokoh dari Che Guevara, Karl Marx, sampai Tan Malaka [semuanya nama sebenarnya]. Lusuh. Seperti tak pernah dicuci—apalagi kena setrikaan. Stelan bawahnya tak jauh beda. Sama-sama lusuh. Biasanya celana gunung yang banyak kantong di kanan kiri—entah untuk apa saja kantong itu digunakan. Alas kaki? Biasanya sendal jepit saja. Lebih praktis. Kalau misalnya dikejar-kejar sama intel semisal bikin rapat-rapat rahasia. “Lebih dari itu, ini bagian dari anti kemapanan, Bung!” terang Jack Palak kalau ditanya soal style-nya itu. Sapaan “Bung” sendiri adalah bagian dari ciri khas Jack Palak menyebut rekan-rekannya yang hampir-hampir se-ide. Sebagai pelengkap, Jack Palak kemana-mana selalu saja menenteng ransel. Entah apa isi ransel yang sama lusuhnya dengan kaosnya itu, tak ada yang tahu. Tapi sekali-kali Jack Palak mengeluarkan buku dari dalamnya, kemudian dibaca-bacanya kalau waktu senggang. Lain waktu dia juga ngeluarkan notes lalu mencatat-catat, entah apa saja yang dicatatnya—dia sama Tuhanlah yang tahu. Kalau diajak ngomong, Jack Palak ini pintar. Bahkan pinter—saking pintarnya. Dia pasih membahas politik, ekonomi, mencerca kapitalisme, menghujat boujuasi, menodong neo-liberal, bicara demokrasi bisa juga meloncat ke sastra, lagu-lagu, dan apalagi kalau sekedar headline koran nasional hari ini. Habis semua dikunyah-kunyah Jack Palak halus-halus. “Kalau mau kritis, mesti banyak baca buku, lihat situasi, analisa segala hal,” kata Jack Palak. Yah, tapi Jack Palak memang aktifis tahun 80-an. Tahun tak enak, kata orang. Sekarang aktifis, tak gitu-gitu kalilah gayanya. Udah lebih sejahtera. Tak lagi dikejar-kejar sama intel. Lihat misalnya Din Kijang [nama samaran juga], yang sekarang jadi direktur di lembaga sosial kenamaan itu. Wah, heibat—sekali lagi, bagi yang belum pernah lihat “i” dalam kata “heibat” ini bukan dalam rangka salah ketik—dia. Dulu penampilannya sama dengan Jack Palak. Sama lusuhnya. Sekarang? Kemana-mana naik mobil, BMW, pakai sopir pribadi lagi. Lihat juga pakaiannya, wah necis, licin, merek-mereknya terkenal, udah pasti tak ada kalau cuma beli di pajak—pasar. Muahal semua. Rumahnya juga mentereng, di kawasan elit. Pokoknya jauh berbeda dengan penampilannya dulu. Berputar 180 derjat. “Akh, siapa bilang aktifis tak boleh mapan? Jamannya udah berbeda, bung!” Din Kijang berkilah. Yah, konon pasca 1998, setelah reformasi, hubungan antara aktifis—khususnya LSM—dengan penguasa dire-orientasi, tak lagi menjadi counter tapi lebih menjadi mitra. Tak heran, kan sekarang hubungan mereka mesra sekali, bahkan ada organisasi-organisasi yang dulu kritis itu terima dana dari pemerintah—lah bagaimana mau vokal lagi? Jack Palak sendiri tetap dengan penampilannya dulu. Tak bisa ikut arus sekarang. Masih tampak lusuh, masih berkaos Che Guevara, dan masih juga bersendal jepit. Naasnya, di kalangan aktifis pun pemikiran-pemikiran Jack Palak tak diterima lagi, banyak yang bilang ketinggalan jaman. Tak sesuai konteks lagi. Jadilah Jack Palak luntang-lantung menjajakan pemikirannya kepada kaum muda—mahisiswa-mahasiswa, karena menurutnya aktifis tua itu juga sudah masuk ke alam mapan. Sudah tak bisa diajak bergerak lagi. Yakh, terakhir memang kiri-kanannya seseorang tak bisa juga dilihat dari penampilannya an sich. Banyak juga berpenampilan seperti Din Kijang tapi pemikirannya progresif, memberi manfaat bagi rakyat—benar, penampilan tak menjamin apa-apa. Banyak juga yang bernampilan layaknya Jack Palak tapi tak bisa berbuat apa-apa. Rupanya simbol-simbol yang dipakai cuma buat gaya-gayaan saja. Tenggelam dari jargon-jargon revolusi, tapi anak-bini sendiri terlantar, tak diperhatikan. Bagaimana mau revolusi? Lagi pula apa masih penting pengelompokan kiri kanan? Jack Palak sendiri bilang masih penting, itu membedakan kita dengan penguasa yang lalim, yang sewenang-wenang, yang otoriter, yang jaga wibawa thok, katanya. Yang lain bilang jadi kiri biar seksi. Hmm, kalau Cok Kompas sendiri, yang namanya diawal-awal tadi sempat kita sebut sekilas, tak mau mengelompokkan diri ke kiri atau kanan, dia lebih senang dibilang cinta akan kemanusiaan—tak peduli itu kiri apa kanan atau malah tengah. [*]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H