Mohon tunggu...
Jemie Simatupang
Jemie Simatupang Mohon Tunggu... Administrasi - Tuhan Bersama Orang-orang Yang Membaca

Pedagang Buku Bekas dari Medan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bang Martin Bilang, "Bung, Menulislah dengan Bertutur!"

4 Januari 2011   04:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:59 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="alignleft" width="314" caption="“Pantat sama Belanda! Bertutur saja pun masih kau tanya apa! Matilah sajalah kita!” aku bayangkan Bang Martin kembali berang sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. (sumber: dok.MartinSiregar)"][/caption] 1001 MACAM TEORI MENULIS. 1001 macam juga kesulitan yang dialami  orang yang mulai menulis. Harus begini, harus begitu. Tak boleh begitu, tak boleh juga begini. Eits, jangan pakai “dan” di awal kalimat, pamali eh pantang eh tak sesuai aturan baku. Susah. Dan akhirnya, tak segini pun—saya menunjukkan satu buku jari telunjuk—tulisan dihasilkan. “Begitu saja kok, repot!” saya bayangkan Gus Dur—yang 1 tahun haulnya baru diperingati itu—terkekeh-kekeh melihat kesulitan kita. Saya jadi teringat lagi dengan Bang Martin, seorang senioran yang suka tulis-menulis, dan sekarang telah menetaskan 2 buah buku kumpulan cerpen unkonvensional. “Bung, menulislah dengan bertutur!” katanya satu kali dengan wajah sungguh-sungguh. “Bertutur cemana, Bang?” “Pantat kau!” geram dia, “Bertutur aja pun kau tanya lagi apa artinya, ya bertutur, bercakap-cakap! Menulis yang baik itu layaknya bercakap-cakap dengan orang lain!” tambahnya. Dia memang suka mengumpat dengan “pantat” dan yang paling saya ingat adalah “Pantat sama Belanda”—entah darimana didapatnya ungkapan yang orisinil ini, mungkin sisa-sisa kebencian orang-orang terjajah kepada Belanda. Akh, kalau sudah begitu tak berani lagi aku menampik. Lebih bagus diam. Diajak berdebat pun  tak bisa juga kita menang, seri saja pun payah. Pun wajar juga dia berang, karena udah berapa kali tema ini kami diskusikan kala sudah kelelahan main catur, usai meditasi reiki, atau ketika berboncengan di atas sepeda tua merek Ralieghnya—yang warnanya lebih karat daripada cat itu dan pedalnya berbunyi ngit...ngot...ngit...ngot... tanda kurang minyak. “Okelah, saya coba!” “Betul kau! Dua hari lagi aku tunggu tulisanmu! Awas kalau tidak!” gertaknya—tapi tak jelas entah apa ancamannya. Dulu, menulis adalah barang mewah bagi saya. Tak terjangkau. Dia cuma domain orang-orang yang mahir manulis kayak Putu Wijaya, Pramoedya Ananta Toer, Seno Gumira Ajidarma, dan deretan penulis lain. Kalau saya, ya cukup membaca saja. Konsumen saja. Sudah sangat senang kalau bisa membaca tulisan-tulisan orang lain yang hebat-hebat itu, juga tulisan-tulisan kawan yang sudah bisa menulis. Tapi Bang Martin ini gatal rasa tempat duduknya kalau melihat orang tak menulis. Macam ada bangsat (kepinding) bersarang di sana. Tak tenang diam. Langsunglah dihasutnya untuk menulis. Terlebih melihat orang punya koleksi buku, suka membaca, tapi tak mau menulis.  Macam-macamlah tuduhan canggihnya kemudian, “Sumbangkan saja buku mu itu ke taman baca, mungkin lebih bermanfaat, daripada jadi hiasan ruang tamu kelas menengah begini!” Lain kali dibilangnya: “Aikh, udah bermental borjuis pulak kau ya, sore-sore minum teh manis, makan pisang goreng, dan ya ampun: sambil baca Pramoedya pulak itu. Selamat! Selamat! Selamatlah! Sejahtera Indonesia Raya!” Mendapat kecaman bertubi-tubi begitu, menulis jugalah saya. Yang bertutur—sesuai hasutan Bang Martin. Entah apa tulisan pertama saya waktu itu—tak ingat lagi. Ketika diserahkan kepadanya, dipuja-pujinya sedikit: “Nah, macam ginilah, jangan menggosok pantat saja kerja!” lalu baru dikritiknya lagi: “Kurang bertutur ini. Usahakan benar-benar mengalir. Seperti kita cakap-cakap ini!” hasutnya lagi. Saya tak bisa menangkap semua apa maksudnya. Tapi mungkin Bang Martin  mau menyederhanakan kalau tulis-menulis itu sama saja dengan bercakap-cakap sehari-hari. Bertutur. Ngobrol. Dan yang baik adalah ketika omongan kita dimengerti orang lain—orang yang diajak bicara. Yang runtut. Jangan tergesa-gesa. Yang tak pakai istilah-istilah sulit. Yang tak lompat-lompat. Begitu juga menulis, anggaplah kalau  kita  sedang bicara di hadapan orang lain, usahakan orang itu mengerti apa yang Anda bicarakan--apa yang kita tulis. Lihat emosinya—rasakan. Jaga juga intonasi Anda bicara. Sekali-kali tawarkan dia minum—biar tak tegang! Mungkin maksudnya bikinlah pengalihan, relaksasi, sedikit humor, atau apalah namanya. Sekarang saya sudah mulai berani menulis. Berani juga mempublikasikan, setidaknya di kompasiana ini, juga di beberapa koran di Medan—tempat tinggal saya. Dan kalau ditanya apa trik menulis saya, saya bilang menulis seolah bercakap-cakap dengan kawan dekat sebagaimana Bang Martin bilang. Yang bertutur.  Dan tulisan yang sedang Anda baca ini juga sebagai usaha bertutur saya kepada Anda—berhasil tidaknya, Andalah yang menilai. Tapi pun begitu sering juga saya tak taat azas, sekali-kali terpancing juga menulis sok-sok ilmiah macam makalah anak kuliahan, pakai bahasa formil, pakai istilah-istilah canggih, pakai sistematika-sitematikaan. Tapi ya memang jadi kehilangan ruh tulisan itu, “Loh, kok rasanya ini bukan tulisan saya?” Dan kalau sudah begini, biasanya saya coba ingat-ingat apa kata-kata Bang Martin lagi: “Bung, menulislah dengan bertutur!” “Bertutur bagaimana, bang?” “Pantat sama Belanda! Bertutur saja pun masih kau tanya apa! Matilah sajalah kita!” aku bayangkan Bang Martin kembali berang sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. [*]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun