[caption id="" align="alignleft" width="368" caption="Amboi, rupawannya tuan yang tinggal di dalam sana (sumber:adyjacquelineofkingsdale.blogspot.com)"][/caption] N A R S I S. Layaknya lagu Cinta 1 Malam: ”Oo…, asyiknya!” A s y i k . Karena betapa mudahnya hasrat manusia yang satu ini terpuaskan di dunia yang sedang berlari ini. C a r a n y a ? Ya mestinya tinggal membuka akun di jejaring sosial (facebook, twitter, frinsdster, fokrol, dlsb-nya itu) atau kalau Anda senang menulis bukalah akun di blog (blogspot, wordpress, multiply, atau seperti kita sekarang ini—kompasiana). Selanjutnya, publish-lah postingan-postingan Anda—baik tulisan, gambar, ataupun video mengenai Anda—maka hasrat purba manusia untuk menjadi bangga pada diri sendiri, memuji diri sendiri, dlsbnya itu yang secara kesuluruhan disebut narsis itu terpenuhilah. Lihat! Betapa senangnya kita—eh, kalau Anda tidak, berarti saya sendiri (narsisnya saya: kan saya ini yang rendah hati, tho!)—ketika status di facebook saya dikomentari oleh banyak orang, di”like-this”in ratusan orang, atau ketika twit kita di twitter di re-twitt oleh ramai orang. Hebat! Begitu juga kalau postingan di blog diserbu banyak komentar. Buncah di dada. Semakin banyak, berarti semakin diperhitungkan kita, semakin narsislah kita. Rasa narsis sendiri konon dirumuskan oleh Sigmud Freud, pencetus psikoanalisa asal Prancis itu, sebagai suatu gejala jiwa manusia. Ia mengangkatnya dari mitologi Yunani. Satu masa adalah seorang pemuda yang sangat rupawan. Engganteng. Narsiscus namanya. Seorang perempuan tergila-gila dibuatnya. Tapi ia mengacuhkannya. Akhirnya perempuan itu—dengan bantuan dewa—mengutuk narsis: tidak akan pernah bisa mencintai orang lain. Benar saja. Satu kali Narsiscus berjalan-jalan, ia haus dan kebetulan ada sebuah telaga di sana. Ia lalu berjongkok ingin mengambil air untuk minum, tapi ia terpesona, di dalam telaga ia melihat seorang yang sangat rupawan. “Amboi, cantiknya tuan!” takjub Narsis. Ia jatuh cinta. Tergila-gila layaknya Majnun mencintai Layla. Setelah kejadian itu berulang kali ia datang ke telaga itu, untuk bercengkerama dengan orang yang ada tinggal di dasar telaga, sampai satu kali ia memeluknya, menjeburkan diri ke dalamnya. Narsis mati. Orang yang ditemui dan dipuja-pujinya di dekat telaga tak lain adalah bayangannya sendiri. Begitulah, Freud (kata seorang lulusan fakultas psikologi bilangnya—kedengarannya seperti: froid) sendiri menyimpulkan bahwa satu sisi jiwa manusia itu adalah kagum pada dirinya sendiri. Menganggap dirinya paling menarik, paling hebat, paling baik, paling engganteng, paling cantik, paling pintar, dan paling-paling lain. Dan sadar tak sadar rasa narsis itu ditampakkan oleh manusia. Orangnya disebut sebagia narsis—mengikuti nama Narsiscus, sedangkan gejalanya secara keseluruhan dikenal sebagai narsisme. Dalam kadar yang pas rasa narsis tak berbahaya. Malah penting. Tapi kalau sampai seperti Narsiscus sendir? Walah, Anda tau sendiri … Lalu bagaimana dengan onani? Orang mengenalnya sebagai prilaku (sudah dewasa semua di sini kan?) seks yang memuaskan diri sendiri—tanpa patner. S w a l a y a n . Awalnya konon adalah seorang pemuda yang diminta menikahi janda kakaknya—karena meninggal. Seperti “ganti tikar” yang ada di beberapa budaya yang ada di negeri kita (negeri yang tim sepak bola nasionalnya dikalahkan diputaran final pertama menghadapi Malaysia tadi malam—Loh apa hubungannya?). Tapi Onan, nama pemuda tersebut, tidak setuju, kendati ia tak bisa menolak karena adatnya sudah begitu. Akhirnya ia menikahi kakak iparnya itu. Tapi tiap kali melakukan hubungan seksual ia tidak mengeluarkan spermanya ke dalam tubuh isterinya, tapi dibiarkan di luar saja, sehingga ia tak mempunya keturunan dari bekas isteri kakaknya itu. Belakangan, orang-orang yang melakukan hal layaknya Onan—dan sebenarnya tanpa isteri, sebagai bentuk penggeseran makna—disebut sebagai onani. Yah, tentu saja dalam catatan ini yang saya maksud bukan prilaku seks itu. Tapi gejala jiwa manusia yang hanya ingin memuaskan diri sendiri, tanpa memikirkan orang lain—istimewa: dalam kehidupan sosial. Seorang penguasa akan dicap sebagai melakukan “Onani Politik” apabila ia mengeluarkan kebijakan hanya untuk kepentingan dirinya sendiri—paling tidak kelompoknya. Agar kekuasaannya langgeng barangkali, atau supaya usaha konco-konconya lancar karena legislasi atau produk kebijakan apapun yang dibuat. Ia tak pernah memikirkan apakah apa yang dibuatnya berguna bagi rakyat—apakah memuaskan mereka. Yang lain, dan sebenarnya konteks tulisan ini sebenarnya, adalah kala kita—eh saya maksudnya, dan saya pernah melakukannya—menulis (atau apapun bentuknya) dan dipublish di dunia maya tapi justru untuk kepuasaan dirinya an sich. Tak ada tujuan lain. Saat seperti itu biasanya saya tak hirau, apakah apa yang saya tulis berguna bagi orang lain atau tidak—dan mestinya memang tak perlu tahu. Kalau orang-orang membaca, kemudian jujur memberi rating tulisan saya itu, maka bisa jadi: “15 dari 10 orang menilai Tidak Perlu!” hahaha, saking tidak perlunyalah itu awak rasa, 10 orang yang merating dengan 15 nilai tak perlu. Akh, lihat tadi apa yang telah kita, eh saya, bicarakan: narsis dan onani. Mungkin makin gawat, kalau seorang yang narsis—seperti saya—yang beronani, dan celakanya di kompasiana. Ya tadi di awal sebenarnya judul ini saya mau bikin prokatif: Narsis Onani di Kompasiana. Tapi karena beberapa pertimbangan, saya mengubahnya seperti yang terbaca Anda sekarang. Mengapa gawat kalau kita, yang narsis seperti saya ini, lalu beronani dengan tulisan—postingan, di kompasiana? Ya, cemana tidak. Kan mestinya kompasiana ini blog sosial yang pastinya beda dengan blog pribadi. Sosial artinya ini blog orang ramai, bukan kita sendiri. Ini semacam ruang publik. Artinya kan kita tiap kali melakukan aktifitas diblog ini, mesti juga memikirkan orang-orang lain yang ada. Boleh narsis, tapi awak rasa tak boleh berlebih. Apalagi sampai beronani, memuat yang sesuatu yang tak berguna bagi orang lain yang ada di sini—seperti yang bisa jadi sering saya lakukan, seperti kira-kira: Apa pentingnya bagi Anda ketika saya mempublishkan soal saya yang tak bisa tidur gara-gara Indonesia kalah dari Malaysia tadi malam? Atau hal lain yang tak penting-tak penting lainnya. Ya, bisa jadi mungkin hanya untuk kepuasaan diri saya saya saja. O n a n i . Beban di otak saya lepas. Yang lain ya mungkin hanya untuk kenarsisan diri saya: woi, tengok ini, kan saya orang yang paling peduli ketika Indonesia kalah dari Malaysia, sampai tak bisa tidur, je … Apalagi katanya kompasiana adalah media jurnalisme warga—benar begini bilangnya? Paling tidak, walau tak seperti jurnalisme biasa (maksudnya media berita profesional) tapi kan harus juga memegang basis-basis jurnalisme, yang salah satunya memberitakan—menulis—apa yang penting bagi orang banyak, publik, masyarakat, bukan berpijak pada apa yang penting bagi saya sendiri. Akh, kalau melihat begini, betapa seringnya tulisan-tulisan saya hanya untuk kepuasan diri sendiri. Dan cuma untuk bilang: “Lihat, betapa pentingnya saya!” Dengan kata lain, saya yang narsis ini, sangat-sangat sering beronani di kompasiana. Di ruang publik. Dan bisa jadi juga dengan tulisan saya yang selesai Anda baca ini. Ikh, di tengok ramai orang pulak: malunya … [*]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H