[caption id="attachment_77846" align="alignleft" width="388" caption="Lae Sederhana bilang mengkonsumsi Miyabi tidak bisa menularkan HIV/AIDS. Bah! Ada-ada saja si Lae ini! (sumber: forum.gemscool.com)"][/caption] Bung, Hari AIDS. Dan ingatan saya melayang ke lebih setahun yang lalu: pada seorang kawan. Umurnya baru 30. Ia mati, dokter memvonisnya: AIDS. Sebelumnya, ia tergolek tak bisa berbuat apa-apa di tempat tidur. Berbagai macam penyakit menggerogotinya. Ironisnya lagi, ia juga meninggalkan penyakit itu di tubuh isterinya. Kawan kita ini memang punya latar yang berisiko dengan penularan HIV—virus yang menyerang kekebalan tubuh dan berakhir ke AIDS. Ia orang pasaran—jalanan. Biasa memakai berbagai jenis narkoba; juga yang disuntikkan. Mereka lazim berkumpul sesama kawan di balik-balik tembok gang kumuh tempat mereka tinggal dan memakai narkoba bersama-sama—bergantian. “Pesta!” kata mereka. Tak ada yang bisa menjamin kalau jarum yang digunakan kawan kita itu steril—walaupun seseteril apapun jarum suntik tak menghalalkan penggunaan narkoba, lebih pada pencegahan penularan HIV saja. Hidup berjalan. Ia menikah. Tak lama seorang anak pun lahir. Sang kawan, belum lagi sadar kalau bibit HIV telah bercampur dalam darah dan mulai menyerang organ-organ tubuhnya: terutama paru. Lama-lama ia sering mengeluhkan badannya yang cepat lemas. Juga batuk-batuk. Ia periksa ke dokter biasa, di vonis penyakit paru. Keadaan semakin memburuk. Sampai entah siapa yang menyarankan mereka melakukan test HIV. Dan dokter bilang: ia positif. (dan terakhir kemudian, setelah ia meninggal isterinya juga divonis: HIV +) Dunia runtuh bagi Si Kawan waktu itu. Bisa jadi dalam bayangannya itu penyakit lakhnat, dan ia—juga keluarganya—takut dikucilkan oleh masyarakat. Ia sembunyikan hasil test, tak ada seorang pun yang tahu. Boleh jadi juga keluarganya. Sampai kemudian ia meninggal dan hasil tes ditemukan di balik tilam, tempat dimana ia tergolek—maaf—menunggu ajal. Bung, Saya hanya mau bilang, betapa walau penyakit ini telah lama terososialisasi ke masyarakat—paling tidak dua dasawarsa ini—tapi masih saja banyak tak tahu. Bahkan ketika negara telah membentuk komisi khusus untuk itu. Kalau pun ada informasi tentang HIV/AIDS ke telinga mereka kadang keliru—dan kadang malah menyesatkan. Anggapan-anggapan AIDS sebagai: “penyakit kotor!” “menular melalui gigitan nyamuk” “menular melalui salaman” dan sebagainya masih banyak berkembang. Hingga seringkali orang seperti ini (yang mengidap HIV/AIDS) harus diisolasi, dikucilkan, diasingkan dari pergaulan masyarakat—dianggap sebagai hukuman sosial. Hingga wajar ketika sang kawan mengetahui dirinya HIV + ia menyemubunyikan fakta itu rapat-rapat. Informasi yang menyesatkan tak hanya dimaklumi masyarakat bawah, yang memang pendidikannya boleh dibilang rendah. Di kalangan berpendidikan juga banyak persepsi yang salah dengan penyakit ini. Malah seorang menteri. Tengok saja bagaimana Tifatul Sembiring—Menkoninfo RI itu—melalui twitternya @tifsembiring menyingkat—ia katanya mengutip Sujudi, mantan Menkes RI—AIDS sebagai: “Akibat Itunya Dipakai Sembarangan”. Waktu itu ia memang sedang menyoroti prilaku kaum gay yang katanya sebagai salah-satu penyumbang terbesar penyebaran AIDS, dengan mengutip Media Indonesia: “MI 12/11/2009: “Penyebab HIV/AIDS dari Kaum Gay Meningkat Tajam”. Kata dokter: perilaku seks yang menyimpang adalah sebagai penular virus tersebut” Padahal sebagaimana yang diketahui, penularan HIV/AIDS memang bisa terjadi melalui hubungan sex, tapi harap dicatat: itu hubungan sex yang tak aman. Yang tidak aman mungkin: yang menimbulkan luka, tidak memakai kondom, dlsb. Dan mesti diingat juga kalau hubungan sex tidak aman bukan satu-satunya penyebab HIV/AIDS. Seperti kasus yang dialami kawan kita, ia saya duga kuat tertular melalui penggunaan jarum suntik narkoba. Bahkan beberapa data menyebutkan penularan melalui narkoba suntik yang paling tinggi. Lainnya bisa ditularkan melalui transfusi darah, penularan ibu ke janin, ibu kepada anak ketika menyusui, dlsb. Bung, Poin saya sebenarnya soal informasi prihal seluk beluk HIV/AIDS. Walau komisi negara untuk isu ini sudah ada, tapi masih banyak yang buta soal penyakit ini. Ada yang tahu, tapi informasi yang didapat malah menyesatkan. Dan saya percaya pendidikan—bagaimanapun bentuknya—adalah media yang tepat untuk menyampaikannya: baik itu pendidikan sex (sebagaimana yang digadang-gadangkan Mariska Lubis di kompasiana), anti-narkoba, informasi HIV/AIDS, dlsb. Kita berharap korban dapat ditekan. Dan kalau ada orang yang hidup dengan penyakit ini tidaklah dikucilkan. Tokh, dia masih manusia. Bisa kita bantu memberi semangat, agar bisa melakukan yang terbaik dalam sisa-sisa hidupnya—juga sisa-sisa hidup kita (siapa manusia pasti mati, tho?). Terus semangati untuk berobat--menekan perkembangan virus. Dan yang masih salah kaprah dengan penyakit ini, katakan: AIDS, pelajarilah dulu! Jangan asal ngecap! Bukalah buku, perhatikan media, bacalah website! Carilah informasi yang benar dari mana saja. Medan, 01/12/2010 Tabek! Jemie Simatupang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H