Mohon tunggu...
Jemie Simatupang
Jemie Simatupang Mohon Tunggu... Administrasi - Tuhan Bersama Orang-orang Yang Membaca

Pedagang Buku Bekas dari Medan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Yok Wak, Yok Berkombur Melayu!

30 November 2010   07:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:10 759
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12911025851215844350

[caption id="attachment_77725" align="alignleft" width="312" caption="Lae Sederhana mau jadi juragan kaskus.us saja, dia tak suka mengambil keuntungan dari keringat orang lain. Weleh! Apa hubungannya? (sumber: denisrahadian.wordpress.com)"][/caption] Bung, Kalau Anda ke Medan, jangan lupa singgah ke kampungku—nun di pesisir pantai timur sana. Pantai Labu namanya (berada di kabupaten Deli Serdang—Sumatera Utara). Biar kuajak Anda berkombur Melayu Serdang—Melayu pesisir. Entah kenapalah namanya pantai labu, yang jelas memang ada pantai. Dan labu? Beberapa orang tua bilang dulu banyak pohon labu tumbuh di sana. Tumbuh menjalar sekitar pantai—entah tahun berapa itu, tak pernah terjawab. Yang lain bilang, “Ha, itu karena banyak puak labu di sana!”. Puak labu—ketika diucapkan terdengar macam wak labu—mungkin seorang tokoh yang senang bercerita yang banyak campurannya: ya berkombur. Orang sekarang mungkin bilang cerita yang dilebih-lebihkan: l e b a y ! Entah darimana asal orang ini wallahu’alam Puak Labu pernah diangkat—sampai sekarang(?)—oleh sebuah koran lokal di Medan sebagai pojok koran—lupa awak namanya. Semacam Mang Usil di Kompas. Tiap hari kasi pandangan kritis asal ceplos tentang isu hangat yang terjadi. Orang pesisir itu kerjanya sebagian besar nelayan. Awak sendiri hidup di keluarga nelayan. Mereka yang menggantungkan hidupnya 100 prosen dari laut. Kalau ada dapat dari laut mereka makan, kalau tidak ya bisa jadi tidak makan—syukur-syukur bisa menghutang dengan juragan, biar tak terbalik periuk di dapur. Apalagi mereka ini terkanal royal. Boros. Mereka percaya, laut akan terus memberikan kehidupan bagi mereka. Ini yang awak rasa membuat mereka tak punya perhitungan hari ke depan dengan baik—bahkan 2 hari ke depan pun. Contohnya saja: nelayan itu biasa mendapatkan gaji banyak dari pelelalangan ikan di pajak, tapi karena boros, uang itu bisa langsung habis. Kandas! Beli ini beli itu, makan ini makan itu. Tak pernah sempat berfikir bagaimana menabung, lebih jauh lagi bagaimana menyekolahkan anak sampai ke perguruan tinggi? Orang besoknya kas keluarga benar-benar habis, padahal belum lagi bisa turun ke laut—“tak hilir!” istilah mereka. Yang dibilang “tak hilir” adalah tak pergi ke laut karena masa-masa yang memang tak memungkinkan. Biasanya karena pasang mati, waktu dimana arus laut sangat kecil pasangnya dan hanya sebentar, sehingga perahu-perahu yang ada di muara tak bisa melewati pantai dan berlayar ke laut. Kandas di muara. Ini terjadi biasanya pada saat bulan gelap. Pasang besar sendiri terjadi saat bulan-bulan purnama. Tak hilir juga disebabkan oleh angin tenggara—“Angin Tenggaro” (diucapkan dengan “r” yang tak jelas untuk “tenggaro”)—sedang berhembus. Badai. Ada juga jenis badai berbahaya dari barat daya—“barat dayo” (dengan pengucapan “r” yang sama untuk “barat”). Waktu-waktu tak bisa melaut begini biasanya digunakan oleh nelayan untuk memperbaiki peralatan nelayan: menempel perahu, mengecat perahu, membubul (menambal) jaring, dan lain-lain. (Dan lain-lain itu kalau dipertegas lagi: ya duduk di warung kopi) Kalau ada yang mamaksakan pergi mencari ikan pada musim-musim ini, alamat pere pajak.—bisa jadi berasal dari free pajak: pajak sendiri adalah tempat pelelangan ikan. Tak bisa menjual apa-apa ke pajak. Sehingga bisa jadi juga, tak harus membayar pajak (kalau ini pajak penjualan), kan memang tak ada apa-apa yang harus dipajakin? Bebas pajak jadinya. Soal pajak memajak itu sebenarnya juraganlah yang paling banyak mendapat untung. Juragan adalah orang yang punya modal, punya alat produksi (perahu, jaring, pancing, dlsb). Logistik (makanan) selama di laut juga dihutang dari juragan. Hingga ketika pulang ke darat, semua hasil tangkapan harus dijual ke jurangan. Harganya? Di bawah harga pasar. Dari sinilah juragan mengambil keuntungan. Besar-besaran. Kalau kita secara serampangan pakai kaca mata marx, telah terjadi penghisapan kaum bermodal terhadap kaum tertindas—sadar tak sadar! Kalau mengutip Rhoma Irama: yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin! Bung, Biarpun hidup susah, orang-orang pesisir itu tak pernah nampak susah. Senang terus. Tertawa terus. Apalagi kalau sudah duduk di warung kopi; ada saja ceritanya. Macam-macamlah itu, dari soal tempat tidur sampai istana negara sana. Berkombur, begitu kata mereka. Jangan ngaku orang melayu—pesisir—kalau tak pandai berkombur. Satu kali misalnya, seorang yang baru pulang dari laut, duduk ngobrol di warung kopi—tentunya setelah memesan minuman berupa kopi separoh (setengah gelas)—“waktu saya pulang tadi, dari kuala tengah ke tengah memutih ikannya!” Maksudnya, ia melihat begitu banyak ikan dilaut, hingga air laut pun menjadi putih. “Banyak lah kau dapat, ya?” timpal seseorang. “Ada juga sekilo!” jawabnya sambil menyeruput kopi. Walah, caklah tengok! Ikan memutih gitu, enak saja dia bilang kalau cuma dapat sekilo hari itu, mestinya dia bisa dapat berton-ton, tho!? Tapi orang yang diajak bicara—yang ada di warung itu—maklum semua. Dan mereka juga akan bikin kombur yang sama, mengalahkan kombur yang pertama. Ini apa yang dibilang kombur melotuv. Mungkin itu suatu pelarian saja dari keadaan mereka yang sulit barangkali. E s k a p i s m e. Yah, daripada terus menunggu nasi yang tak pernah tanak di dapur—wong memang (pada hari itu) tak ada lagi yang bisa di tanak. Bung, Begitulah sekilas orang-orang kampungku—yang artinya juga aku. Bagaimana kampung Anda? Saya menunggu balasannya! Medan, 30/11/2010 Tabek! Jemie Simatupang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun