Mohon tunggu...
Jemie Simatupang
Jemie Simatupang Mohon Tunggu... Administrasi - Tuhan Bersama Orang-orang Yang Membaca

Pedagang Buku Bekas dari Medan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Iwan Fals, Sepeda Motor, dan Polisi

30 Mei 2010   07:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:52 2052
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_153493" align="alignleft" width="350" caption=""...Didepan (dimuka) ada polantas/Wajahnya begitu buas/Tangkap aku/Tawar menawar harga pas tancap gas..."--Iwan Fals (sumber:my.opera.com)"][/caption] ORANG INDONESIA mesti kenal Iwan Fals—apalagi Orang Indonesia [OI] dalam pengertian organisasi pengagum sosok Iwan Fals dan karya-karyanya. Ia salah seorang pelantun lagu kritik [sosial, budaya, politik, dll] paling lantang: dari dulu hingga sekarang. Siapa yang tak pernah kena kritik Iwan Fals? Dari presiden hingga kepala desa, dari prilaku anggota dewan—wakil rakyat—sampai prilaku pengguna jalan raya—sekaligus polisinya. Ngomong-ngomong soal terakhir: prilaku pengguna jalan raya—sekaligus polisinya, saya jadi ingat lagu: “Kereta Tiba Pukul Berapa” dan “Kisah Sepeda Motorku” Kereta Tiba Pukul Berapa menceritakan tentang seseorang—kita beri nama saja: Si Bakrie—yang hendak menjemput seorang temannya—kita beri nama saja: Si Gali—di stasiun kereta api. Konon kereta api yang membawa Gali tiba pukul satu [siang]—berdasarkan kabar kawat yang disampaikan. Bakrie lalu menjemput Gali ke stasiun pakai sepeda motor. Ia ngebut—konon karena rindu—tapi saya lebih senang mengartikannya sebagai: memang kebiasaan Orang Indonesia: lampu merah diterobos, rambu-rambu lain diacuhkan. Sampai akhirnya “disemprit” polisi. Dan sebagaimana jamaknya terjadi: kasi uang, jalan pun lancar. Tapi persoalan belum selesai. Karena sampai di stasiun, yang ditunggu tak kunjung datang: Bakrie macam menunggu Godot. Beginilah lengkap ceritanya: “Hilang sabar dihati/Dan tak terbendung lagi waktu itu/Lama memang kutunggu/Kedatanganmu/sobat karibku. Datang telegram darimu (Tiba kabar darimu)/Dua hari yang lalu (tunggu aku)/Di stasiun kereta itu pukul satu. Kupacu sepeda motorku/Jarum jam tak mau menunggu maklum rindu/Traffic light aku lewati/Lampu merah tak peduli jalan terus (asik). Didepan (dimuka) ada polantas/Wajahnya begitu buas/Tangkap aku/Tawar menawar harga pas tancap gas. Sampai stasiun kereta pukul setengah dua/Duduk aku menunggu tanya loket dan penjaga/Kereta tiba pukul berapa? Biasanya kereta terlambat/Dua jam mungkin biasa (rusak lo)/Biasanya kereta terlambat dua jam/Cerita lama. Dalam lagu ini Iwan Fals mengkritik 3 hal sekaligus—setidaknya menurut saya. Pertama, soal prilaku pengguna sepeda motor yang suka ngebut di jalan raya—yang kalau ditilang polisi, keluarlah alasan-alasan yang tak kadang tak masuk akal: karena rindu—semacam kasus  lagu Iwan ini, karena orang tua sakit, karena ada saudara yang meninggal, karena menghadiri acara kawan yang berpangkat perwira, dan macam alasan klasik lainnya. Kedua, soal prilaku polisi jalan raya yang agaknya memang senang sekali kalau ada pengguna sepeda motor yang menabrak rambu-rambu lalu lintas. Semakin banyak pelanggaran semakin bagus. Artinya: semakin besar juga uang damai: uang masuk: uang rokok: uang tulis: dan entah uang apa lagi. Tabrak lampu merah: Rp.20.000,- Tak pakai spion: Rp.20.000,- Lupa bawa SIM: Rp.20.000,- Terus kita akan ditanya sama Polisi: “Jadi gimana? Ditilang saja ya?” “Tolonglah, Pak!”—sambil memegang 2 lembar Rp.10.000,- “Tak bisa ini. Banyak sekali pelanggaran yang Anda lakukan!” “Tolonglah, Pak. Orang tua kawan saya—yang perwira tinggi di kepolisian—sedang sakit. Saya ini dalam perjalanan hendak menjenguknya,” “Sudah. Sudah. Jalanlah”—sambil mengambil uang dari tangan pelanggar lalu lintas. “Terimakasih, Pak!” Ketiga, soal jadwal kereta api yang suka ngaret. Rencana tiba pukul 1 kok udah setengah 2 tak datang-datang. Bahkan konon terlambat dua jam pun sudah biasa. Ini karena—seperti kata Mahbub Djunaidi—monopoli yang dilakukan perusahaan kereta api di negeri ini, jadi karena tak ada saingan: pelayanan boleh dinomorseratustigakan—kalau tak mau dibilang: no.106—kan pelanggan juga tidak akan lari ke kereta api lain, pasti naik kereta api itu juga. Lagu Kisah Sepeda Motorku, bercerita tentang—kita bilang saja—Bakri—lagi—yang melaporkan kehilangan sepeda motor ke kantor polisi. Polisi lalu mencatat laporan dan bilang: “Tunggu saja, nanti kami kabari!”. Tapi kabar tak kunjung datang, hingga akhirnya Bakrie datang lagi ke kantor polisi, tanya bagaimana perkembagan kasus hilangnya sepeda motor miliknya. Ternyata sepeda motor telah ada di kantor polisi: tapi yang anehnya hampir-hampir Bakrie sendiri tak mengenali sepeda motornya itu lagi. Apa yang terjadi? Beginilah lengkapnya: Hei bapak kopral saya datang mau lapor/Tadi malam waktu saya sedang molor/Telah kehilangan sepeda motor/Dirumah teman saya yang bermata bolor. Baik anak muda kuterima laporanmu/Tapi mengapa kau lapor hari sudah bedug lohor/Juga kenapa kau lapor/Kok hanya pakai celana kolor/Tunggu saja sebulan nanti bapak beri kabar/Sekarang engkau boleh pulang. Lama kutunggu kabar dari bapak kopral/Kenapa nggak nongol-nongol/Sehingga gua dongkol. Lalu aku pergi menuju kantor polisi/Tapi nggak jadi/Sebab kabel listrik perut saya kortsleting/Oh kiranya saya lupa setor tadi pagi. Terpaksa sore hari saya baru pergi: kontrol/Ternyata sepeda motor ada di garasi kantor polisi Sudah tak beraki/Sudah tak berlampu/Tutup tengki hilang/Kaca spion kok melayang. Dia bilang waktu diketemukan/Sudah demikian/Memang tak beraki kok/Memang tak berlampu kok/Tutup tengki hilang/Kaca spion kok melayang. Bolehkah motor ini saya bawa pulang bapak kopral?/Oh tentu saja boleh engkau bawa pulang/Asal engkau tahu diri/Mbok terima kasih. Sekarang saya persilahkan Anda yang mengulas: kira-kira apa yang terjadi dengan sepeda motor si Bakri? [*]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun