[caption id="attachment_122794" align="alignleft" width="366" caption="Anda menabrak lampur merah? Alah Pak, kan belum merah-merah kalinya (sumber:wartajiwa.wordpress.com)"][/caption] INI CERITA BENAR-BENAR tak pernah terjadi. Atau kalaupun pernah, saya tidak tahu siapa pelaku aslinya. Kisahnya cuma dituturkan dari mulut ke telinga ke mulut telinga ke mulut akhirnya sampai ke telinga saya. Jadi kalau kita telusuri, ”benarkah cerita ini benar-benar terjadi?” akan bertemu dengan banyak, ”kata si fulan, iya,” tanya si fulan lagi, ”kata si fulan iya,’” lalu lagi ”kata si fulan iya,”. Akhirnya biar tak berkata si fulan saja jadinya, awak putuskan untuk menuliskannya, siapa tahu ada yang mengaku benar-benar pernah mengalami cerita berikut ini. Satu kali, karena saya tidak tahu namanya kita buat saja, Wak Bersahaja pergi ke kota naik honda—padahal mereknya itu yahama, tapi karena kebiasaan tetap saja bilangnya honda. Entah apa tujuannya ke kota, tak disebutkan pula dalam cerita itu. Dia naik honda pelan-pelan sekali, apalagi memang honda jenis miliknya tak bisa dipakai buat ngebut, cuma keluaran di bawah tahun 80 pulak. Pelan-pelan tapi pasti sampai juga Wak Berhaja ke kota. Jumpa persimpangan lewati lampu merah, Wak Bersahaja pikir kenapa orang-orang kota boros sekali, siang-siang pakai lampu segala, pikirnya cobalah belajar dari dirinya yang selalu hidup sederhana, bahkan bersahaja, kalau tak percaya lihat saja nama saya: W a k B e r s a h a j a. Ya kan? Lalu lewat lampu merah lagi. Wak Bersahaja jalan terus, pikirannya jadi mendapatkan pembenaran, bahwa orang kota boros kali, banyak lampu hidup di siang hari. Tapi apa dinyana Wak Bersahaja disemprit sama polisi, melanggar lampu merah pulaknya. Polisi kasi selamat siang untuk Wak Bersahaja, tapi dijawab ”Walaikumsalam”. Polisi bilang kalau Wak Bersahaja uda melanggar lalu lintas, menerobos lampu merah, bisa membahayakan keselamatan pengguna jalan raya lain. ”Coba tunjukkan surat-surat kendaraan Anda!” Wak Bersahaja diam saja. ”Ada SIM kan?” ”Ada!” ”STNK?” ”Adalah!” ”Iya, mana SIM dan STNKnya?” ”Di rumahlah, ngapain juga kubawa-kubawa?” ”Loh. Berarti tidak ada!” ”Sedap aja kau bilang tak ada. Ada di rumah. Kalau kubawa-bawa terus hilang mau kau menggantinya?” hardik Wak Bersahaja. Polisi itu—dalam cerita ini—bingung. Jarang-jarang kan Polisi dibikin bingung? Setengah menyerah, dia mulai berpikir orang ini ada penger-pengernya—kurang akal. Lalu bertanya lagi pada Wak Bersahaja. “KTP dibawa?” “Kalau itu kemana-mana pun kubawa,” ”Coba sini, serahkan pada saya,” Wak Bersahaja pun menyerahkan KTPnya. Tapi polisi itu bingung melihat KTP itu, ukurannya agak besar, dan tak ada pula fotonya. Rupanya itu KTP model jadoel sekali, jaman atok-atok awak dulu. ”Loh, KTP ini mana fotonya?” ”Foto kau bilang? Yang di depan ini orangnya, ngapaian kau cari fotonya?” jawab Wak Bersahaja sambil menepuk dada. Nah, Anda boleh percaya boleh tidak. Tokh saya sudah mengingatkan dari awal. Atau ada yang berinisiatif mengakui bahwa cerita ini dirinya yang mengalami, artinya dirinyalah Wak Bersahaja yang sebenarnya, karena jangan sampai nanti kulaporkan ke polisi. [Loh...loh... maksudnya apa ini?] [*]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H