Mohon tunggu...
Jemie Simatupang
Jemie Simatupang Mohon Tunggu... Administrasi - Tuhan Bersama Orang-orang Yang Membaca

Pedagang Buku Bekas dari Medan

Selanjutnya

Tutup

Puisi

17 + Bang Kasmin

16 Agustus 2011   12:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:44 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_125140" align="aligncenter" width="600" caption="Hardija Pujanadi, Indonesia Berduka (sumber: Thejakartapost.com)"][/caption]

“Maju! Serbu! Serang! Terjang!” katanya, kok bisa-bisanya mengutip Dipenegoro-nya Ch. Anwar.

Oleh JEMIE SIMATUPANG SEMAKIN MENDEKATI 17 AGUSTUS, Bang Kasmin makin gusar. Resah. Lelaki paruh baya yang sehari-hari bekerja sebagai penarik becak di Kota Medan itu tak bisa tenang dalam duduk dan berdirinya. Wajahnya murung. Keriput 101 di wajahnya itu membuat kemurungan itu nyaris sempurna ditangkap semua orang—bahkan yang tak pernah masuk fakultas psikologi sekalipun. “Ada apanya, Bang, kok dari tadi bolak-balik ke depan ke belakang. Ada barang yang hilang?” tanya Kak Butet, isterinya. “Yang mana tak ada yang hilang, Tet,” jawabnya sekedar. “Lalu?” “Yang mana kayaknya tahun ini awak tak juga bisa memenuhi nazar?” “Nazar? Koruptor itu? Bukannya beberapa hari yang lewat dia sudah ditangkap di Bogota dan dibawa pulang ke Indonesia? Saya tonton dari TV tetangga,” “Bah! Bukan! Yang mana, ini soal bendera!” “Bendera?” Bang Kasmin lalu menerangkan kalau dari tahun ke tahun ia berniat membeli bendera—bendera merah putih. Konon selama ia berumah tangga, belum sekali pun rumahnya memasang bendera pas perayaan kemerdekaan 17 Agustus, begitu juga dengan perayaan hari nasional lain. Padahal, sebagai salah seorang bangsa Indonesia, ia ingin tunjukkan juga pada semua orang, bahwa dia adalah seorang Indonesia sejati. Tak peduli walaupun sekorang tukang becak sekalipun. Nah, 17 tahun lalu, tanpa diketahui oleh seorang pun, termasuk Kak Butet, isterinya itu, dia membuat nazar akan membeli sebuah bendera yang akan dipasang menyambut 17 agustus tahun depan—maksudnya tahun ini. “Mengapa tak kau beli?” tanya isterinya. “Macam tak tau saja kau ini, Tet! Awak ini, suamimu ini, kan cuma tukang becak, manalah pernah ada uang berlebih untuk beli bendera?” “Kalau gitu tak usahlah beli. Tetangga kita juga tak ada yang pasang bendera, lagian di daerah kumuh begini, di mana akan kau pasang bendera itu?” isterinya menyahut. *** TUJUH BELAS AGUSTUS. Pagi benar Bang Kasmin sudah bangun. Bergegas ia pakai celana komprang yang terbuat dari bekas goni gandum—jahitan isterinya sendiri. Di bagian belakang celana itu masih terdapat gambar segitiga warna biru. Setelan atasnya, baju kaos berlogo partai, yang di dapatnya pada kampanye pemilu musim lalu. (sekedar informasi tambahan: ia punya 38 buah kaos berbeda-beda, sebanyak jumlah partai yang berkampanye waktu itu). Turun dari rumah panggungnya yang ada di pinggiran sungai Deli itu, Bang Kasmin lalu menaiki becaknya menuju Makam Pahlawan, tempat dimana biasa orang menjual bendera kalau bulan agustus begini. “Akhirnya, bisa juga saya beli bendera,” kata Bang Kasmin dalam hati. Malam tadi, seorang penumpang memberinya ongkos berlebih—sangat-sangat malah. Tak tahu mengapa, mungkin orang itu dapat lotere—tapi zaman sekarang kan tak ada lagi lotere?—atau barangkali menang judi bola. “Masa bodoh dari mana uang itu,” pikir Bang Kasmin. “Yang mana saya halal mendapatkannya,” sambungnya lagi. Tapi belum lagi sampai Makam Pahlawan, ban becaknya mendadak meledak. Dor! Terdengar seperti suara tembakan. Bang Kasmi melompat, lalu merunduk di bawah becaknya.  Ia latah. Dalam bayangannya Belanda datang lagi menyerang.  “Maju! Serbu! Serang! Terjang!” katanya, kok bisa-bisanya mengutip Dipenegoro-nya Ch. Anwar.  Akh, agaknya atmosfir tujuh belasan memang sedang menyelimutinya—juga alam bawah sadarnya. Beberapa bentar kemudian ia baru sadar, ketika sebuah angkot mengklaksonnya berkali-kali. Di belakang angkot sudah pula terlihat kemacetan panjang.  Astagfirullah, katanya, ketika mahfum apa yang terjadi. Bang Kasmin pun bangkit lalu tergopoh-gopoh mendorong alat produksinya itu ke pinggir, lalu berjalan menuntun becak kesayangannya mencari tukang tambal. “Tempel, Bang!” katanya, ketika sampai ke tukang tambal. “Bocor?” “Kau periksajalah dulu,” Tukang tambal itu pun memeriksa—cekatan layaknya tukang tambal di mana-mana. Ban ternyata koyak dan nyaris putus. Tukang  ban menunjukkan kepada Bang Kasmin. “Harus diganti baru, Bang,” “Tak ada yang bekas” “Stoknya habis, Bang” “Berapa duit?” “Tiga lima” “Tak kurang?” “Tiga dua setengahlah, Bang! Buka dasar, biar laris” Bang Kasmin terduduk. Wajahnya muram lagi. Tigapuluh dua ribu lima ratus, maka sisa uangnya tinggal dua ribu lima ratus. Dengan uang segitu membeli bendera ukuran paling kecil pun tak cukup. Di depan tambal ban itu, adalah sebuah sekolah SD. SD negeri. Anak-anak terlihat berbaris. Bang Kasmin awalnya tak hirau melihat itu. Tapi ketika lagu Indonesia Raya berkumandang, Bang Kasmin sontak berdiri. Berdiri tegak. Darahnya berdesir. Refleks tangan kanannya di tariknya ke keningnya, membentuk posisi hormat bendera. ... Indonesia raya Merdeka! Merdeka! Tanahku, negeriku! Yang kucinta ... Bang Kasmin meleleh air matanya! [*]

Medan, 16/8/2011

JEMIE SIMATUPANG warga kompasiana.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun