Mohon tunggu...
Media Literasi Kita
Media Literasi Kita Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Media Literasi Kita berfokus pada penyebaran bacaan yang baik untuk masyarakat Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Harga Sebuah Buku, Seharusnya Murah atau Mahal?

22 Desember 2023   16:30 Diperbarui: 22 Desember 2023   16:31 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada September 2021, saya & Pedjadjaboekoe pernah membuat kredo pendek sok rebel bertajuk, "Buku & Gorengan", yang kami unggah di media sosial Instagram. Pedjadjaboekoe memproduksi & menjual buku-buku---kami menyebutnya stensilan---nir-ISBN, merupakan upaya tetap sok indie & ugal-ugalan. Gerakan ini awal mula dirintis Polanco S. Achri, kemudian Fahrul Rozi bergabung sebagai penata letak & saya membantu bagian editing, pemasaran, dan menjahit buku.

Sebagaimana menyandang label "indie", gerakan ini secara jelas bisa dimaknai sebagai kontra terhadap penerbitan arus utama. Padahal waktu itu kami masih bekerja sebagai buruh penerbitan & kegiatan gerakan ini juga menumpang di kantor penerbitan tempat kami bekerja (haha), lalu tak lama dipindahkan ke rumah Polanco.

            Stensilan yang kami buat menampung beragam genre, mulai dari esai, prosa, hingga puisi. Kami pun memiliki spesifikasi sendiri, semisal ukuran yang kecil agar bisa ditaruh di saku, buku yang tipis, binding dengan disteples atau edisi spesial dijahit, & dibungkus dengan plastik yang bisa digunakan berulang. Jika waktu cukup luang, kami lebih senang mengerjakan dengan binding jahit, memadukan teks & tekstil.

Ketimbang buku dengan binding lem yang sudah umum, stensilan yang dijahit valuenya juga meningkat, karena ada sisi kerajinan, hand made, seni rupa & buku pula bisa dipajang sebagai koleksi yang unik. Dari sisi kertas sampul, kami juga menggunakan kertas yang tak lazim digunakan oleh penerbitan arus utama. Kadang kami menggunakan jenis kertas bertekstur yang dapat dirasakan indra rabaan atau warna yang unik. Kadang kami juga mendaur ulang limbah kertas untuk dijadikan sampul. Desain sampul yang kami kerjakan terkesan sekenanya, tapi hal itu dikerjakan & dikonsep dengan baik, selaras dengan gagasan yang kami yakini.

(Pendjajaboekoe)
(Pendjajaboekoe)

Kembali soal kredo di atas tadi, stensilan yang kami terbitkan dijual dengan harga 10, 15, atau 20 ribu rupiah. Penjualannya hanya dilakukan via instagram & kadang menumpang di beberapa pameran seni rupa kecil-kecilan. Dalam beberapa candaan, kami tidak ingin disebut sebagai "penerbit", tapi "penenggelam". Jika boleh jujur, prinsip kami sederhana, balik modal sudah cukup. Sebab kami ingin bersenang-senang, maka penulis yang karyanya diterbitkan oleh Pendjadjaboekoe akan kami ajari menjahit & ikut menjahit bukunya sendiri. Seandainya diukur, dari waktu & tenaga yang kami luangkan untuk mengerjakan, itung-itungan dari sisi bisnis tentu rugi. Tapi kembali ke soalan awal, kami toh memang ingin bersenang-senang & terlihat sok rebel. Bahkan pada bagian kolofon buku kami dengan terang menuliskan: boleh dilipatkan-gandakan (tanpa izin penerbit & penulis) demi kebermanfaatan umat manusia. Imbauan tersebut sejatinya adalah bentuk kritik kami terhadap maraknya aksi pembajakan buku. Kami juga yakin, stensilan kami takkan dibajak karena tidak best seller di pasaran & pengerjaannya rumit.

            Kredo "Buku & Gorengan" bermula dari kegelisahan kami sebagai pembaca/pembeli buku, finansial kami yang payah kadang terganjal oleh harga buku yang mahal. Kami baru bisa membeli buku yang kami inginkan setelah bertahun terbit, membeli versi bekas dengan harga yang sudah jauh turun. Konon, menurut beberapa tulisan di internet & kisah beberapa kawan yang pernah ke luar negeri, harga buku di sana lebih murah dibanding di Indonesia. Atau makna lainnya, tingkat ekonomi & pendapatan warga di sana tinggi, sehingga buku terasa murah. Selain itu pula, di Indonesia dengan tingkat melek literasi yang masih jauh, nampaknya buku bukanlah kebutuhan yang mendesak-mendesak amat.

            Meskipun masih jauh & tak realistis, sebagai anak muda sok rebel, kami tetap membayangkan suatu hari nanti buku bisa seharga gorengan atau bisa diakses gratis di mana pun & oleh siapa pun. Sejatinya ada versi murah dari buku yang kami inginkan. Namun itu buku bajakan, dengan istilah yang populer "KW", "repro", "reprint", "KW super", "setara Ori", dan sebagainya. Namun, meskipun keuangan kami payah, kami takkan membajak buku orang lain atau membeli hasil bajakan. Selain melanggar hukum & moral, tindakan membajak pula merugikan banyak pihak, tak menghargai upaya intelektualitas & kreativitas. Cukup kerbau saja yang membajak, kamu nggak usah.

Mengacu kepada hasil angket yang dilakukan bulan Mei 2023 oleh penerbit Mesin Rekam, 45,5% pembaca membeli terbitan tulisan seharga 50 ribu hingga 100 ribu. Sedangkan 37,5% pembaca lainnya membeli tidak lebih dari harga 50 ribu. Hanya 12,5% pembaca yang membeli seharga lebih dari 100 ribu. 91,7% responden lebih menyukai perwajahan buku berupa artwork, sedangkan lainnya memilih perwajahan berupa foto. Terbitan yang dibeli pun bervariasi mulai dari buku anak-anak, majalah, hingga novel.

Menurut beberapa senior yang bergelut dalam industri penerbitan buku. Ada beberapa mekanisme sederhana dalam menentukan harga, tetapi yang sering saya dengar ialah menggunakan hitungan harga produksi dikali 5. Misal harga produksi per eksemplar buku 15.000, maka buku setidaknya dijual 75.000 ribu atau kisarannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun