“Kata Kuncinya adalah Otsus, Demokrasi, Birokrasi”
Secara menyeluruh citra demokrasi dan politisasi birokrasi masih saja terpuruk. Mulai dari sistem, kuatnya interfensi politik yang dianggap rancu atau tidak sesuai aturan yang berbelit-belit sampai masalah SDM birokrasi tidak sejalan dengan esensi demokrasi yang sesunguhnya terlihat tidak profesional. Bahkan sebagian regulasi politik untuk mengakomodir kepentingan umum, melangkah lebih maju secara demokratis, namun kini muncul pada keterbatasan SDM yang tidak berkarakter menjadi ancaman dalam kultur birokrasi akibat campur adukan undang-undang “libido politik” tidak demokratis.
Kalau saja pelayanan publik lingkup Pemerintahan Daerah (PEMDA), ingin mereformasi birokrasi yang digulirkan tidak membuahkan hasil yang manis. Berbagai pengamatan lansung menunjukan, semenjak berlakunya Undang-undang Republik Indonesia Nomor : 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, tidak berefek positif dalam penyelengaraan tatanan demokrasi, ambruknya sistem birokrasi lebih condong patoligis, lemahnya penjabaran dari pada regulasi desentralisasi asimetis yang sebenarnya.
Berhubungan dengan regulasi tersebut telah mengatur pasal per pasal, bahkan dalam implementasinya khusus dalam pelayanan publik tidak maksimal dengan mengukur parameter ketertinggalan runtutan kebijakan publik (Perdasi dan Perdasus) sebatas yang tersirat. Faktanya bahwa kesiapan tenaga profesional dalam melayani masyarakat secara tebuka atau efektif menjadi prinsip dasar dari pada para birokrat, tampil sebagai pelayan yang handal.
Selanjut nya terlepas dari soal demokrasi dan politisasi birokrasi, kita dihadapkan pada sebuah politik praktis, berpikir pragmatis, kurang adanya kepekaan sosial yang tinggi. Mengapa?, karena dampak amanat Undang-undang desentalisasi hanya sebuah tulisan diatas kertas putih tersebut masih rentang kendali kebijakan yang sangat membingunkan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah “pluss nilai politik”, kemauan Jakarta lain dalam hal pemanfaatan (muatan politik). Dari masalah tersebut penting kita mencatat bahwa (UU Pemerintah daerah masih mendominasi lingkup birokrasi, sebagai pelumpuhan UU Otsus Papua). Hal tesebut menjadi evaluasi dalam mereformasi birokrasi, supremasi hukum yang dilematis dan keblinger dalam ketata negaraan kita saat ini (dari pandangan normatif).
Terlepas dari hal tersebut, kenyataan sesungguhnya para birokrat sendiri tidak nyaman dengan kondisi seperti ini ”semua menjadi tidak menentu, siapapun bisa menjadi apapun”. Yang paling menentukan adalah dampak sistem, kehancuran demokrasi, patologi birokrasi politisasi birokrasi tanpa keseimbangan nilai keadilan (tidak berkarakter). Mereka menganggap para tim suskses adalah penentu dalam kedudukan jabatan (jenjang eselon) tanpa diukur sama sekali. Disinilah intervensi politik lebih mendominasi pembagiaan kekuasaan (cacat syarat pemerintahan yang sesungguhnya).
Akibat daripada persolan seperti itu akan mengada-ada stuktur tanpa dipertimbangkan secara matang. Jika demikian maka tak heran, jika kinerja birokrasi lebih pada kebutuhan geografisnya tidak dianalisis secara menyeluruh, sehingga berjalan mulus, ambruknya birokrasi. Maka rakyatlah yang di rugikan walaupun telah digulirkannya reformasi birokrasi, citra birokrasi belum juga membaik.
Akar Persoalan “Spionase UU Otsus: Antara Demokrasi dan Politisasi Birokrasi?”, mengamati sistem secara keseluruhan yang sangat penting adalah pentingnya rekonstruksi kesadaran sebagai pemerintah untuk melayani rakyat. Saat ini wilayah penguasa dan birokrat masih mencerminkan watak dengan kultur birokrasi klonial “lebih memposisikan sebagai tuan yang menarik pajak dan harus dilayani oleh rakyat”. Tatanan hukum kita masih warisan Belanda, tatanan sistem Pemrintahan masih warisan Amerika, maka inti berkaca atau bersipionase sebuah sistem adalah tergantung kebijakan pemerintah daerah, dengan melahirkan aturan-aturan yang mengikat tidak terlepas dari pada Unadang-Undang Otonomi Khusus Papua, walaupun Undang-undang 32 Tahun 2004 masih juga mendominasi kultur birokrasi serta sistem.
Tentunya kita belajar dari negara lain seperti Negara-negara maju karena kemampua mereka menyelesaikan reformasi birokrasi. Seperti yang diraih Korea Selatan sejak era 80-an. Reformasi ditopang langkah deregulasi pemerintah pusat dan penguatan reformasi administrasi pemerintahan. Pada akhirnya melahirkan dampak wajah birokrasi yang efektif, efisien, profesional, bersih dan berwibawa. Berbeda dengan Indonesia, Papua pemberlakuan Otsus tanpa esensi kewengan yang jelas. Dapat di prediksi secara kritis kondisi kultur birokrasi kita saat ini adalah masih berada dalam tahapan abad pertengahan terlihat orientasi karakter, materialis, minimnya mentalitas pengabdian, ambisius orientasi hedon “banyak ngomong, sedikit bekerja” adalah takdir.
Meski demikian kita telah melewati fase otonomi hanya tersirat, akan tetapi pengamatan kita pada aturan Undandang-Undang Nomor 22 tahun 1999 pasca runtunya rezim Orba (transisi), Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah berada pada fase (reformsi) sejalan dengan Undang-undang Otsusu Nomor 21 Tahun 2001 Bagi Propinsi Papua tanpa esensi demokrasi yang jelas. Titik kesadaran Konstruktif menjadi sasaran kebobrokan sistem (Multi fungsi UU). Prinsipnya daerah diberi kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan yang ditetapkan dalam Undang-undang. Memberikan kewenganan, pelayanan, pemberdayaan peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahtraan rakyat.
Pentingnya catatan miring dalam melihat kenyataan seperti ini, cita-cita reformasi birokrasi dan demokrasi tidak sejalan. Sehingga tepatnya memberikan saran solutif seperti, Pertama: Menghindari sifat ambisius, kedua: memaknai tata laksana tugas atau pengabdiannya, ketiga: memberikan pendidikan politik yang sebetulnya (prestasi), keempat: menemukan jati diri, kelima: menyiapkan semua perangkat dan meningkatkan daya saing (berinovasi) dalam menghadapi tantangan global.
Pandangan Kritis pentingnya merekonstrusi total dalam penyelengaraan UU otsus papua yang identik dengan muatan pasal-pasal karet selama ini tidak menyentuh akar masalahnya. Karena manfaat dari pada kebijakan lebih mementingkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan (aspirasi), hal mendasarnya adalah kehadiran Negara untuk kepentingan masyarakat tidak hanya sebagai penguatan hegemoni Negara lebih di tonjolkan diahapan masyarakat. Bagimana dengan demokrasi, keadilan, reformasi birokrasi adalah tunjuan dan tanggung jawab kita bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H