Batas, membatasi, atau memagari sering kali menjadi tema yang dekat dengan kehidupan manusia, baik dalam makna harfiah maupun filosofis. Jika kita mengibaratkan batas pada sebuah bangun datar seperti lingkaran, persegi, atau jajar genjang, maka batas tersebut adalah garis yang membentuknya. Tanpa garis tersebut, bangun datar tidak akan terlihat atau dikenali. Bayangkan saja sebuah lingkaran tanpa garis pembatas -- bisakah itu disebut lingkaran? Sama halnya dengan manusia, jika tidak memiliki batas, apakah dia masih dapat disebut manusia? Jika rakyat Indonesia tidak memiliki batas, apakah layak disebut rakyat Indonesia? Begitu pula, seorang Muslim yang tidak mengenal batas, apakah bisa disebut sebagai seorang Muslim sejati?
Batas, pada hakikatnya, adalah sesuatu yang mendefinisikan. Tanpa batas, keberadaan menjadi tak terarah dan kehilangan makna. "Manusia tanpa batas" adalah frasa yang paradoksal, sebab manusia itu sendiri memiliki batas yang mendasari eksistensinya. Batas manusia mencakup kebijaksanaan dalam bersikap, kemampuan menahan diri dari keserakahan, dan keharusan untuk bermanfaat bagi sesama. Ketika seseorang memahami batas ini dan mampu membangun pagar dalam hati dan pikirannya, dia tidak hanya diakui sebagai manusia oleh dirinya sendiri, tetapi juga dimaknai oleh orang lain sebagai manusia.
Sebagai manusia, kita terdiri dari berbagai lapisan identitas. Ada diri kita sebagai individu, sebagai rakyat Indonesia, dan sebagai umat Islam. Masing-masing identitas memiliki batasannya sendiri. Sebagai rakyat Indonesia, batas tersebut diatur oleh hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, seperti kode etik dan adat istiadat. Sebagai umat Islam, batasan kita telah digariskan dengan jelas dalam Al-Qur'an dan Hadis.
Namun, batas tidak selalu berbentuk fisik atau hukum. Batas sejati adalah batas yang ada dalam hati dan pikiran kita -- rem moral yang mencegah kita melangkahi nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan.
 Contoh nyata mengenai konsep batas dapat kita lihat dari peristiwa heboh terkait laut yang dipagari dengan bambu, yang dianggap sebagai upaya reklamasi. Jika kita melihat dari sudut pandang "batas", apakah pagar yang dibuat itu merupakan batas sejati, atau justru simbol dari perilaku tanpa batas? Alih-alih menjadi penanda yang bermanfaat, pagar tersebut mungkin saja mencerminkan kerakusan dan ketidakpedulian terhadap kepentingan bersama.
Pertanyaan yang penting untuk kita renungkan adalah: apakah yang lebih utama, pagar fisik yang nyata atau pagar dalam hati dan pikiran yang mencegah manusia dari kerakusan dan keserakahan? Sayangnya, banyak orang kini mengabaikan batas moral demi keuntungan pribadi, dengan dalih bahwa selama sesuatu legal, maka itu bisa dibenarkan. Padahal yang melegalkannya pun masih termasuk koloni koloninya.
Sebagai manusia yang diwajibkan untuk beragama oleh Pancasila dan hidup di Indonesia, banyak dari kita masih belum memahami batas diri dengan baik. Ketidaksadaran ini membuat sebagian orang kehilangan arah atau tujuan hidupnya. Ironisnya, mereka yang belum lulus menjadi manusia ini sering kali berambisi untuk melangkah lebih jauh, menjadi pemangku kebijakan atau tokoh masyarakat, padahal fondasi moral mereka rapuh.
Kesadaran akan batas diri adalah dasar dalam menjalani kehidupan. Proses mengenali batas diri adalah langkah awal yang menentukan. Ketika kita berhasil membangun fondasi moral sebagai manusia, langkah selanjutnya untuk menjalani peran lain -- sebagai rakyat Indonesia atau sebagai seorang Muslim -- akan menjadi lebih kokoh. Dengan demikian, kita tidak hanya hidup untuk diri sendiri, tetapi juga memberikan manfaat bagi orang lain dan menjaga harmoni dalam kehidupan bermasyarakat.
Batas, pada akhirnya, bukanlah sekadar garis fisik atau aturan tertulis. Ia adalah prinsip yang menjaga manusia tetap manusiawi, memberikan arah, dan membangun makna dalam keberadaan kita.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI