Indonesia adalah negara yang penuh dengan kata "ibu." Banyak hal yang diidentifikasi dengan istilah ini, misalnya ibu kota, yang merujuk pada kota paling utama dalam suatu negara. Kota ini menjadi pusat perekonomian, pemerintahan, dan kehidupan negara. Dalam konteks ini, makna "ibu" mencerminkan posisi sentral, penting, dan tak tergantikan.
Kemudian ada istilah ibu jari, jari yang bentuknya berbeda dan memiliki kedudukan istimewa dibandingkan jari lainnya. Lagi-lagi, "ibu" di sini bermakna sesuatu yang istimewa, yang memiliki peran penting.
Namun, bagaimana dengan ibu Pertiwi? Saat ini, makna "ibu" dalam ibu Pertiwi terasa semakin sulit kita temukan, apalagi rasakan. Secara simbolis, ibu Pertiwi adalah wujud penghormatan kepada alam Indonesia---sumber kehidupan bagi seluruh rakyatnya. Sayangnya, penghormatan ini hanya tinggal simbol.
Alam yang kita anggap sebagai ibu sedang dikeruk habis-habisan oleh mereka yang rakus akan harta. Kita, sebagai anak-anak bangsa, hanya bisa menyaksikan ibu kita yang dirampas dan dieksploitasi tanpa ampun. Kondisi ini mencerminkan ironi: rakyat Indonesia hidup dalam kondisi piatu, kehilangan sosok ibu yang seharusnya menjadi pelindung dan pemberi kehidupan.
Jika ibu Pertiwi dimaknai sebagai alam Indonesia, maka ibu kita telah lama dirampas. Ibu kita diborgol dan dipaksa melayani nafsu duniawi segelintir orang yang egois. Namun, jika ibu Pertiwi diartikan sebagai negara atau pemerintah, apakah makna tersebut masih relevan?
Pemerintah seharusnya hadir sebagai ibu yang penuh kasih sayang. Akan tetapi, bagaimana mungkin kita menyebut negara sebagai "ibu" ketika pemerintah justru memaksa rakyat untuk memenuhi kewajiban, seperti kenaikan pajak PPN menjadi 12%, tanpa memperhatikan kondisi dan kesulitan yang dihadapi rakyat? Seorang ibu tidak akan tega menyakiti anak-anaknya, namun keputusan ini mencerminkan kurangnya empati dan perhatian.
Baik alam maupun pemerintah sebagai ibu Pertiwi terasa belum memenuhi makna sejatinya. Kita seolah hidup dalam kondisi tanpa ibu---piatu. Istilah "ibu Pertiwi" lebih sering menjadi diksi konotatif yang memperindah puisi atau lirik lagu, tetapi tidak hadir sebagai penghibur, pemberi kesejahteraan, atau penyedia kebutuhan rakyatnya.
Indonesia memang memiliki banyak ibu---sosok perempuan hebat yang berprestasi, baik di dalam maupun luar negeri. Namun, sifat keibuan dalam arti memberikan perhatian, kasih sayang, dan perlindungan, belum benar-benar kita rasakan sebagai rakyat.
Indonesia masih dalam fase kehilangan "ibu." Entah karena ibu itu telah hilang, atau mungkin karena kita memang tak pernah benar-benar memilikinya.
Selamat Hari Ibu. Semoga makna sejati "ibu" suatu saat dapat kita rasakan dalam kehidupan bangsa ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H