Punchline adalah konsep utama dalam stand-up comedy; bisa dikatakan bahwa punchline adalah nyawa dari komedi itu sendiri. Dalam sebuah materi stand-up, struktur umumnya adalah set-up lalu punchline.Â
Set-up merupakan opini yang membawa pendengar pada suatu pemikiran atau asumsi yang logis, dan punchline adalah pematahan dari asumsi tersebut, yang menghasilkan humor. Di Indonesia, tokoh-tokoh besar stand-up comedy seperti Pandji Pragiwaksono, Raditya Dika, dan Ernest Prakasa menggunakan pola ini dalam materi mereka.
Saat ini, stand-up comedy semakin populer di seluruh Indonesia. Ada komunitas yang berkembang hampir di setiap kota, yaitu Stand-Up Indo, yang berhasil membuka ruang baru dalam seni Indonesia. Kini, bukan hanya tari, musik, atau kesenian tradisional yang dapat dipertunjukkan; komedi pun mulai memiliki panggung tersendiri dan menjadi fenomena dengan penggemar setia.
Open mic, atau sesi uji coba materi stand-up, kini menjadi hiburan tersendiri bagi para pemuda di warung kopi, buruh pabrik, mahasiswa, dan pekerja kantoran yang mencari kesenangan di sela-sela kesibukan.Â
Di sana, komika dari berbagai daerah mencoba melatih punchline mereka. Gaya punchline setiap komika berbeda-beda; Raditya Dika sering kali mengangkat kisah cinta, sementara Dani Aditya dan Davi menggunakan kekurangan fisik mereka sebagai bahan humor.Â
Ada pula yang memanfaatkan situasi politik, seperti Pandji Pragiwaksono dan Bintang Emon, yang menjadikan keresahan hidup di Indonesia sebagai bahan kritikan lucu. Stand-up comedy kini tak hanya menjadi ajang hiburan, tetapi juga wadah untuk berpikir kritis.
Lalu, apakah mungkin negara Indonesia ini sendiri adalah sebuah "negara penuh punchline"? Di negara ini, ada rakyat dan pemimpin. Jika rakyat yang menjadi komika, hal itu dapat dimengerti; rakyat yang menjalani kehidupan penuh tantangan sudah sewajarnya tertawa untuk sejenak melupakan beban hidup.
 Namun, jika pemimpin yang menjadi komika, ini mungkin menjadi hal yang keliru. Jabatan pemimpin itu sakral, membawa tanggung jawab besar yang seharusnya tidak diperlakukan sebagai bahan guyonan.
Namun nyatanya, setiap lima tahun, rakyat seolah "tertipu" dengan punchline pemilu. Awalnya, ada set-up berupa visi, misi, dan janji manis dari para calon pemimpin. Akan tetapi, di akhir masa jabatan, janji-janji itu sering kali "patah" oleh punchline yang mengecewakan.Â
Misalnya, seorang pemimpin yang mengklaim diri sebagai anti-korupsi justru ditangkap atas tuduhan suap atau gratifikasi. Inilah punchline politik yang sering kali menjadi tontonan di Indonesia.
Rakyat Indonesia sudah terbiasa melihat punchline-punchline semacam ini dari pemangku kebijakan, di mana janji-janji manis setiap lima tahun hanya berakhir sebagai bahan tertawaan. Meski begitu, rakyat tetap mencoba berdamai dengan kenyataan ini dan menganggapnya sebagai bagian dari kehidupan. Rakyat Indonesia kuat, mampu mencari kebahagiaan dalam keterbatasan, dan senantiasa berusaha bangkit.