Mohon tunggu...
jefry Daik
jefry Daik Mohon Tunggu... Guru - seorang laki - laki kelahiran tahun 1987

pernah menjadi guru pernah menjadi penjual kue pernah menjadi penjual tahu pernah menjadi penjual Nasi

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Ngidam

28 September 2020   08:55 Diperbarui: 28 September 2020   09:09 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

*Sebuah refleksi atas tren sinetron masa kini

Pada suatu pagi di suatu pekarangan rumah sewaan, 2019

Aku sedang berjalan-jalan di halaman lalu melihat dahan pohon mangga tetangga yang menyelusup di atas pagar kami.

Ada buah serangkai tergantung pasrah dibuai angin. Hijau, segar,.. masih belum seberapa besar

Rahangku mengeram. Air liurku tak kunjung bisa ditahan.

                    "Akh...ini godaan"seruku pada diriku sendiri.

Di halaman depan diseberang jalan, pada kebun mini pak Andy, pepaya yang telah menguning Nampak memanggil mata untuk menatap.

                   "ah...ini bencana,"

Kenapa? Aku malah mengingini milik orang lain?

Padahal di pojokan halaman aku menanam stroberi, dan tomat yang merah ranum?

Ada pula anggur hijau dan ungu melata di atap para -- para buatanku.

Mengapa? Justru kebun tetangga terlihat lebih hebat? Lebih menarik? Membuat diri ingin memetik?

Ah...ada asam jawa dibelakang rumah. Itupun pada tanah kosong entah milik siapa.

Lalu...lamunanku tersibak.

Seorang pria muda muncul dari kamar dan berdiri memelukku dengan romantisnya. 

Dia hanya menggunakan selembar handuk. Dadanya yang bidang sedikit berbulu sungguh mempesona.

Dengan cuek aku berusaha menahan hati untuk menggodanya.

Sebelum digoda saja ia sudah klepek -- klepek padaku. 

Tapi bibirku yang nakal telah tersenyum licik.

Lantas dia melingkarkan pelukannya ke pinggangku sedikit keras. 

Kutambatkan jemariku ke lengan kokohnya,

Leher jenjangnya yang mulus menikung turun lalu mencumbuku.

Apa aku sinting?

Logika melesat lepas. 

Ah!! ini sebuah prestasi.

Bagi selingan hidup bergelimang harta.

Bibirku...entah mengapa bergerak sendiri dan mengucap : "senang bisa merebut milik orang lain," 

Seringainya menjadi bersemangat, matanya bukan lagi mataku. 

Rumput tetangga memang selalu terlihat lebih hijau, 

bagi penjarah asmara seperti aku.

Peduli amat dengan orang lain!

Bersambung saja....hingga perut menggembung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun