Hal itu bukan datang begitu saja, namun telah tersistem dari tingkat RT hingga ibukota. Hal ini karena kadang kartu katabelece masih berlaku. Tak mau antri atau mau antri tapi dengan perlakuan istimewa karena misal anak pejabat, anak kyai, salah satu Richi rich , sultan saking kayanya, pejabat tinggi dan lain sebagainya, namun setelah pensiun, akan terlupakan seiring waktu.
Â
Sistem itu adalah demokrasi kapitalisme. Demokrasi meniscayakan kebebasan berperilaku, kebebasan berpendapat dan kebebasan memiliki tanpa batas, mengakibatkan seseorang hidup hanya berkutat pada perolehan manfaat materi  semata.
Â
Demokrasi pun melahirkan banyak penguasa yang korup. Mereka berdalih, korupsi adalah jalan lain untuk mendapatkan nafkah. Sebab biaya demokrasi sangatlah mahal, bak madu yang manis semutpun berkerumun ingin mengambil peluang memperkaya diri.
Â
Padahal, ketika telah duduk manis di kursi kekuasaan yang diidamkan, rakyat terlupakan. Bahkan tak pandang siapa yang di hadapannya, main tampar kepada seorang perempuan, bisa jadi ia salah satu rakyat yang memilihya hanya karena tak sabar ikut deretan antri. Bagaimana kemudian ia bisa menisbatkan dirinya berjuang untuk rakyat?
Mungkin boleh iri jika budaya antri ini dibandingkan dengan dunia barat, yang sangat tertib dan menghargai kebutuhan komunal atau pelayanan sosial . Namun secara akidah, ketertiban mereka tidak akan menghasilkan pahala, sebagainya seorang Muslim ketika melakukannya akan mendapatkan pahala.
Â
Keyakinan inilah yang hendaknya mendorong seorang Muslim untuk produktif, menguasai iptek. Menghasilkan banyak karya demi maslahat umat. Terlebih jika ia memiliki kekuasaan maka ia harus menjadi pelayan bagi umat sebagaimana sabda Rasulullah saw ,"Imam (Khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." (HR al-Bukhari). Wallahu a' lam bish showab.Â