Surat Al Ikhlas merupakan surat ke-112 dalam Al Quran. Terdiri dari empat ayat dan termasuk surat Makkiyah. Surat ini berisi mengenai ketauhidan terhadap Allah yang menjadi pondasi utama bagi setiap muslim. Tauhid berarti memberikan pengakuan atas keesaan atau tunggal-Nya Rabb, dan Dia memiliki nama Allah.
Surah Al-Ikhlas turun untuk menjadi jawaban bagi orang musyrik yang bertanya pada Nabi Muhammad Saw tentang nasab dan sifat Rabb (Tuhan). Untuk budaya Arab, nashab atau garis keturunan saat itu sangatlah penting, semakin tinggi derajat seseorang ketika ia berasal dari keturunan terpandang. Dinamakan Al-Ikhlas, meski tidak ada kata Ikhlas di dalamnya, karena Isi surah tersebut murni membicarakan mengenai Allah 'Azza wa Jalla, karena Al-Iklas bermakna "murni".
Inti dari surat Al-Ikhlas adalah Allah itu Ahad (Maha Esa). Allah itu Ash-Shamad, artinya Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu untuk selama-selamanya. Allah tidak beranak dan juga tidak diperanakkan karena memang tidak ada yang sejenis dengan Allah dan sifat itu mustahil bagi Allah. Maka seringkali surat ini disebut sebagai tsulutsul Quran) atau sepertiganya Alquran, karena dalam Al-Qur'an dibicarakan khusus tentang Allah. Padahal Al-Qur'an kandungannya adalah hukum, berita (cerita), dan tauhid.
Banyak hadis yang membicarakan keutamaan membaca surat Al-Ikhlas, dengan tidak menafikan keutaamaan surat-surat yang lainnya. Namun Al-Ikhlas seperti baterai yang siap memberi energi segar kepada handphone terkait ketauhidan kita. Apa kabar? Tak jarang kesibukan sehari-hari melenakan. Menjalaninya asal berjalan, tanpa rasa lagi. Padahal sangatlah penting kita mengingat kembali masihkah kita meng-Esakan Allah?
Masihkah dakwah kita karena keyakinan Allah satu-satunya yang patut disembah, tak ada Allah lain? jangan-jangan kita lebih memilih dakwah yang disukai masyarakat bukan dakwah yang dibutuhkan. Adakah yang demikian? Tentu ada, banyak para da'i Daiyah yang memberikan materi lucu, menghibur, tak sekadar dari cara menyampaikannya tapi juga muatannya.Â
Mereka takut jika mendakwahkan materi yang sedikit " serius " jamaah kabur, pendapatan berkurang, mendapat julukan ustaz ustazah radikal. Padahal disitulah urgensitas ya, mengapa umat menolak materi serius, karena memang daya berpikir umat mengalami kemunduran yang sangat. Sistem aturan hari ini melenakan.Â
Hanya mempertontonkan halusinasi kehidupan, dimana jurang perbedaan sangat lebar dan sengaja dibuat. Agar membuat mata kagum dan lidah berdecak, tak peduli dari mana asal harta atau kedudukan yang mereka peroleh. Kebahagiaan semu yang diumbar, padahal sejatinya bagi seorang mukmin, kebahagiaan hakiki hanyalah jika seumur hidup senatiasa taat kepada Allah yang satu, yang tak bergantung pada siapapun dan yang tidak beranak atau diperanakan.
Mengakui Allah itu Esa memunculkan sejumlah konsekwensi, di antaranya tak boleh larut dengan sistem hari ini yang memang bukan berasal dari Allah, yang menjadikan manusia sebagai pengambil keputusan dan pembuat hukum. Padahal sekali-kali tidak! Dalam surat Al-Ikhlas secara gamblang diberitahukan siapa Allah Pencipta alam semesta dan seisinya, berikut siapa pengatur dunia dan akhirat. Dan siapa yang hanya hamba sahaya, tak berdaya, lemah dan tak akan bertahan jika bukan karena Rahmat dan kasih sayang Allah SWT.Â
Ramadan tahun ini, semoga menjadi tonggak pembatas antara kekufuran dan keimanan. Dengan melakukan semua aktifitas bernilai pahala dengan menjadikan tauhid sebagai landasan. Pun dalam rangka memperjuangkan perubahan hakiki, dimana dunia kembali ada di bawah kekuasaan Syariat Allah. Wallahu a'lam bish shawab.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H