"Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta'ala berfirman: "Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku. Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi." (HR. Bukhari no. 1904, 5927 dan Muslim no. 1151).
Sesudah Ramadan, pastilah Syawal dan kita merayakan kemenangan Idul Fitri. Ya iyalah, urutannya memang demikian, kecuali ada sesuatu hal. Dan yang terbayang adalah arus mudik. Budaya di negeri Indonesia dan beberapa negeri kaum Muslim di dunia.Â
Sempat gaduh karena perbedaan peraturan yang dikeluarkan pemerintah antara mudik dan perhelatan MotoGP di sirkuit Mandalika. Anehnya selalu bertepatan dengan hari raya kaum Muslim. Belum lagi dengan situasi di jalan sepanjang jalur mudik, meskipun pemerintah sudah tetapkan jalur mudik, buka tutup dan lain sebagainya tetap saja kemacetan melanda. Mengular berkilo-kilo meter, berjam-jam hingga memakan korban.Â
Lebih aneh lagi di jalan tol, dimana rakyat melaluinya tidak gratis tapi tetap saja menghadapi macet. Setiap tahun terjadi, tak ada perubahan signifikan, entah tak peduli entah apa yang jelas terlihat jelas kemalasan untuk belajar dari pengalaman. Dan, rakyat bukan prioritas.Â
Bagaimana rasanya bila urusan atau perjalanan bisa lancar? Tentulah sangat menyenangkan , sebab sesuai keinginan. Dan ternyata, puasa adalah satu-satunya ibadah yang Allah sendiri penghitungannya, tanpa perantaraan malaikat sebagai amalan biasanya. Hal ini menunjukkan betapa istimewanya Ramadan.Â
Mengapa demikian? Sebabnya adalah seseorang itu dilihat Allah telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku (Allah SWT). Bisa dipahami, saat berpuasa, perut dalam keadaan kosong. Tentu yang terjadi adalah keadaan lemah, bahkan hingga depresi atau putus asa karena mati. Demikian pula kerusakan yang diakibatkan buruknya sistem aturan hingga membuat rakyat lapar, mau tak mau keimanan teruji bak timbangan bergoyang ke kanan dan ke kiri. Urusan perut tak bisa ditunda, jika dengan cara baik-baik sulit, maka kekerasan bahkan dengan menghilangkan nyawa sekalipun dilakukan tanpa takut.Â
Di saat fisik dilemahkan, akan terlihat fakta yang sesungguhnya, kepada siapa hendak bersandar. Perbedaannya dengan kufur sangatlah tipis. Butuh adanya penjagaan agar keimanan senantiasa kokoh. Tak ada jaminan pada selain Islam untuk seseorang mudah meninggalkan syahwat dan menebalkan keimanan.Â
Betapa beruntungnya kaum Muslim mendapatkan dirinya dalam bulan Ramadan. Sebab ada kesempatan membersihkan wadah pahala dan mengisinya dengan kebaikan-kebaikan terbaru sepanjang Ramadan. Sebab pertanda seseorang sukses dengan puasanya bukan semata dari bau mulutnya, namun dari bertambahnya keimanan sehingga dia menjadi sosok baru yang siap menghadapi perubahan dengan senjata yang lebih terbarukan.Â
Memperjuangkan Islam, memberitahukan kepada siapa saja keindahan Islam, terlebih kepada ajakan mempraktikan syariat dalam setiap inci kegiatannya. Bukan satu, tapi Kaffah atau keseluruhan. Wallahu a'lam bish shawab.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H