Setiap Muslimah pasti sudah sangat hafal dengan salah satu surat di Alquran yang membahas mengenai kewajiban menutup aurat, Â yaitu QS An-Nur:31," Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat."
Namun mempraktikkannya tak semudah membaca terjemahannya. Perlu upaya yang keras, berikut keimanan yang kuat. Hati dan pikiran mesti sadar, " Jangan Lupakan Siapa yang Memerintahkan" Allah SWT.Â
Ada saja alasan kaum wanita guna menghindari menutup aurat dengan sempurna. Belum dapat hidayah, masih sibuk dengan pekerjaan, tuntutan pekerjaan, ribet, suami gak suka, nanti kalau sudah dewasa akan paham sendiri, yang penting hatinya, percuma rambut ditutup tapi mulut hoax bak comberan dan lain sebagainya.Â
Ada yang tidak menutup aurat ketika keluar rumah, dengan alasan dekat dan tidak ada yang melihat. Apakah dia lupa siapa yang memerintahkan menutup aurat? Allah SWT. Ada yang merasa memaksa anak, dan menerima penawaran anak, nanti kalau sudah dewasa. Sungguh perkataan yang menunjukkan kedangkalan berpikir sekaligus sombong. Siapa yang bisa menjamin ia akan berumur panjang?
Dari semua alasan di atas, sebetulnya hanya berasal dari satu tempat, yaitu hati yang belum sadar. Terlalu banyak ayat-ayat Allah yang menggambarkan siksaan bagi wanita yang menampakkan aurat di hadapan pria asing. Namun sedikit yang memikirkannya. Akalnya terlalu pendek untuk menterjemahkan bahwa di dunia tak akan abadi.Â
Dan mereka lupa, dari kelemahan kesadaran yang terus mereka pelihara ada pihak-pihak yang kelak bakal tersakiti sekalipun pahala kebaikannya sebesar gunung Uhud. Yaitu ayah dan suami atau orang yang berhak menjadi walinya. Bisa kakek atau pamannya dan seterusnya, dengan nasab ke atas dan ke bawah.Â
Jika seorang wanita kehilangan ayah, suami atau kerabat yang bisa menjadi walinya tentu akan sedih, namun mereka berpanjang angan, dengan mengatakan waktu masih panjang. Bukti cinta yang sejati, sesungguhnya adalah ketaatannya kepada para walinya.Â
Tunduk dan patuh kepada suami atau ayah, bukan berarti merendahkan diri sebagaimana yang sering dijargonkan para pengusung ide gender atau feminisme. Mereka beranggapan seluruh aturan ( baca: syariat) yang dibebankan kepada wanita adalah untuk mengungkung dan membatasi kegiatan bahkan hak-haknya sebagai manusia.Â
Jika memang bebas tanpa batas, kemudian di dorong semua perempuan untuk berdaya secara ekonomi bisa mengangkat derajat dan kemuliaan perempuan, mengapa di dunia barat, angka perceraian tinggi, zina marak apalagi aborsi. Bahkan angka bunuh diri akibat depresi juga tak segan mengakhiri hidupnya. Mereka lupa, di akhirat pun ada pengadilan?
Bukankah jika memang ide feminisme dan kesetaraan gender mampu membawa perempuan sejahtera, mengapa malah banyak perempuan yang di anggap " konco wingking" teman belakang layar ( arti bahasa jawanya ) dan malah terpuruk. Padahal Allah SWT menciptakan manusia dengan segala potensi yang mampu digunakan bertahan hidup di dunia.Â