Lagi-lagi ditemukan kasus aborsi di negeri ini, berawal dari didapatkannya bukti di sebuah klinik kecantikan di Jalan Tanah Merdeka, RT 06/RW 06, Rambutan, Ciracas, Jakarta Timur, yang menyediakan jasa aborsi ilegal. Berupa tulang belulang janin di dalam sebuah septic tank.
Artam Aryandi selaku ketua RW setempat mengaku kecolongan. Sebab pemilik klinik melapor ke RT untuk meminta izin membuka praktik klinik dan salon kecantikan serta kantor advokat. Kedok klinik itu  terbongkar setelah Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya beserta Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor), dan tim Rumah Sakit (RS) Polri Kramat Jati, pada Kamis (2/11/2023) mendapati sejumlah tulang yang diduga berasal dari janin hasil aborsi yang dibuang para pelaku (tribunnews.com, 5/11/2023).
Dekadensi Moral Generasi Buah Cara Hidup Liberal
Maraknya aborsi, menjadi tanda rusaknya masyarakat. Hilang sudah rasa malu apalagi penyesalan, mungkin hanya di bibir. Miris, padahal Indonesia mayoritas penduduknya memeluk Islam, mengapa  banyak dari generasi mudanya terjerumus dalam pergaulan bebas? Walau sebenarnya pergaulan bebas bukan anak mudanya saja yang menjadi pelaku, mereka yang sudah berumah tangga, atau bercerai, bahkan inses dengan saudara atau orangtua kandung pun kerap terjadi.
Tentulah dengan banyaknya kasus yang terungkap tidak bisa lagi disebut kasuistik, melainkan sudah sistemik , artinya disebabkan  sistem aturan yang diterapkan oleh penguasalah yang menjadi akar persoalan, sehingga ketika  sistemnya rusak , rusak pula masyarakatnya. Dan hal ini merata baik dalam sistem pendidikan,sistem informasi, juga sistem sanksi.
Sistem pendidikan berbasis sekuler, memisahkan agama dari kehidupan bahkan negara, telah sukses menjadikan output pendidikan menjadikan agama, terutama Islam hanya sebagai ilmu pengetahuan, sama dengan ilmu matematika, IPA atau sejarah. Terlebih dengan adanya  program moderasi beragama yang semakin jelas menyasar Islam. Penyusunan kurikulum pendidikan jadi permainan, arahnya hanya menyediakan tenaga kerja terampil sedang aklak dan adab kosong.
Sistem informasi juga turut memperburuk kualitas generasi. Digitalisasi dipenuhi dengan konten nir guna. Hanya mendulang monetisasi tanpa peduli dampaknya kepada generasi. Penguasa kelabakan bahkan terkesan tak berdaya menghadapi serbuan situs judi online, prostitusi online hingga perdagangan orang online. Belum lagi konten-konten berisi pornoaksi dan porno grafi. Anehnya jika menyangkut situs dakwah Islam, pemerintah sigap menutup dan pasti bisa.
Sangat wajar, sebab kita hidup dalam sistem kapitalisme sekuler, semua urusannya adalah manfaat, pajak yang dibayarkan beberapa situs itu banyak yang menjadi pendapatan negara. Maka, yang terjadi adalah tarik ulur kepentingan, rakyat lagi-lagi menjadi korban. Berbagai usia mudah mengakses, wajar jika kriminal juga meningkat tersebab digitalisasi tanpa pengawalan yang semestinya.
Sistem sanksi lebih keji lagi, masih ingat bagaimana kasus polisi bunuh polisi yang awalnya diputuskan hukuman mati menjadi seumur hidup. Apalagi, di Indonesia sangat royal dengan pemberian amnesti, grasi, dan potongan-potongan masa tahanan terumata saat hari besar keagamaan atau peringatan hari-hari besar nasional. Belum lagi jika yang terpidana adalah pejabat, anak pejabat, saudara pejabat, maka seolah hukum yang sudah berjalan mendadak berhenti membeku, atau di peti eskan. Bagaimana keadilan bisa diharapkan terwujud?
Wajar saja jika tingkat kriminalitas tak pernah turun, sebab tidak menjerakan. Kasus aborsi, yang diawali dengan perzinaan hanya akan dijatuhi hukuman penjara, padahal yang hilang adalah kehormatan dan juga nyawa. Ini sebenarnya bencana kemanusiaan, sebab manusia sama dengan barang tak ada harganya samasekali.