Mohon tunggu...
Rut Sri Wahyuningsih
Rut Sri Wahyuningsih Mohon Tunggu... Penulis - Editor. Redpel Lensamedianews. Admin Fanpage Muslimahtimes

Belajar sepanjang hayat. Kesempurnaan hanya milik Allah swt

Selanjutnya

Tutup

Money

Buying Minyak Goreng Menjadi Panic Bulliying

25 Januari 2022   23:33 Diperbarui: 25 Januari 2022   23:37 605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Komoditas terpenting di dunia perdapuran bagi Mak bangsa adalah minyak goreng. Terlebih bagi industri makanan ringan pengganjal lapar, gorengan. Tentu kelangkaan dan kenaikannya sangat menyiksa pelaku penggorengnya, karena menimbulkan dilema, gorengannya dibuat lebih kecil supaya lebih hemat minyak pasti banyak yang protes," ini gorengan atau penghapus pensil sih bang?". 

Namun ketika dibuat besar, modal mepet hingga terancam minyak tak terbeli. Berita bagusnya, pemerintah mematok harga, kini meski stok terbatas, harga minyak di retail modern ditetapkan Rp14.000 rupiah perpouch. 

Kepala Dinas Perdagangan Kalsel, Birhasani mengatakan, untuk sebagian ritel modern di Kalsel masih menunggu suplai (minyak goreng), sebagian masih ada". Untuk itu Birhasani meminta kepada warga untuk tidak panik buying dengan cara memborong. Jadi beli minyak goreng sewajarnya di retail modern (tribunnews.com,23/1/2022). 

Panic buying merupakan tindakan membeli sejumlah besar produk atau komoditas tertentu, karena ketakutan tiba-tiba akan kekurangan atau terjadi kenaikan harga di waktu yang akan datang. 

Seperti hal pertama kali virus corona masuk ke Indonesia, masker, hand sanitizer, temulawak hingga susu beruang pernah ramai-ramai dibeli bahkan ada indikasi penimbunan barang. Kemudian hari ini adalah minyak goreng, karena harga sudah merangkak hingga Rp28.000 per liter maka ketika menjadi satu harga Rp14.000 per liter masyarakat ramai-ramai membelinya. 

Namun apa yang kemudian terjadi? Warga membludaki toko dan waralaba untuk mendapatkan minyak goreng harga murah. Tak ada prokes dan tertib jaga jarak. Rakyat disibukkan dengan kegiatan berburu minyak goreng murah, dengan berbagai cara, mulai dari pinjam KTP, seluruh anggota keluarga diminta antri membeli minyak, hingga berganti kerudung atau baju hanya agar tidak dikenali kasir karena membeli lebih dari satu pouch. 

Berita buruknya, berdasarkan informasi dari Kementerian Perdagangan, kebijakan ini tidak hanya dibuka beberapa hari atau minggu saja, melainkan 6 bulan lamanya. Jelas rakyat akan dibuat sibuk lagi, akankah setelah 6 bulan harga minyak kembali normal sebagaimana sediakala?

Anggota Pengurus Harian YLKI ( Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia), Agus Suyatno, menyoroti beberapa aspek yang menjadi penyebab Panic buying. 

Di antaranya adalah subsidi yang bersifat terbuka sehingga rentan salah sasaran, sebab semua bisa mengakses dengan mudah. Potensi munculnya panic buying yang dilakukan oleh konsumen dengan kemampuan finansial baik akan sangat besar, bahkan mungkin saja akan terjadi penimbunan oleh oknum untuk keuntungan pribadi. 

Agus juga menyayangkan pemerintah yang tidak juga menjadikan fakta Panic Buying sebagai pelajaran untuk mengadakan program subsidi dengan aturan main dan pengawasan yang lebih baik. Pemerintah juga dinilai kurang tepat dalam mengukur keberhasilan program subsidi yang dilakukan. "Tolok ukur subsidi selama ini adalah berapa barang/Rupiah yang sudah digerojokan, bukan berapa banyak masyarakat terdampak yang menikmati subsidi."

Sebab menurut Agus memberikan subsidi untuk meringankan beban masyarakat, bukan jalan keluar atas tingginya harga sebuah produk di pasaran."Ibarat orang sakit yang diberi minyak angin/balsem, pemberiaan subsidi ini tidak akan menyembuhkan penyakit yang sebenarnya. Sifatnya hanya menghangatkan sementara di tempat tertentu saja."

Ya, menjadi warga negara Indonesia memang harus siap menghadapi berbagai macam panic. Sebenarnya bukan hanya Panic Buying yang menjadi heboh, namun rendahnya kesadaran masyarakat terkait keadaan perekonomian yang carut marut ini tak kalah membuat panik. Sebab, ini menyangkut pengurusan urusan umat yang mana menjadi tanggungjawab dari pemerintah. 

Lantas, bagaimana pandangan Islam terkait solusi naiknya harga minyak itu bisa diselesaikan dengan mematok satu harga di harga Rp14.000? Ternyata mutlak keharamannya, artinya tidak boleh penguasa menetapkan harga pada satu harga tertentu, kemudian memaksa masyarakat membeli harga yang telah dipatok tadi dan tidak boleh menambah dan menguranginya. 

Alasan yang biasa digunakan adalah untuk kemaslahatan rakyat, untuk menghindari harga tinggi di atas harga asli atau agar tidak saling menjatuhkan antar para pedagang. Dan itu tak pernah terwujud di negara khilafah. Dari Anas bin Malik, "Sesungguhnya banyak manusia datang kepada Rasulullah dan berkata, "Tentukanlah harga bagi kami, harga-harga kami." 

Rasulullah SAW bersabda, "Wahai manusia! Sesungguhnya naiknya (mahalnya) harga-harga kalian dan murahnya itu berada di tangan Allah Subhanahu Wata'ala, dan saya berharap kepada Allah ketika bertemu Allah (nanti), dan tidaklah salah satu orang terhadapku, (aku memiliki) kezaliman dalam harta dan tidak pula dalam darah."

Makna dari hadist ini adalah menetapkan harga dari sisi penguasa, atau siapapun yang menjadi pengurus urusan umat adalah haram secara mutlak. Sebab akan menyebabkan saling menzalimi. Oleh karena itu bagi siapapun yang melihat praktik pematokan harga untuk segera melaporkan kepada Qadhi (hakim) Mazalim ( hakim yang khusus memutuskan perkara atau sengketa antara rakyat dengan penguasa), agar segera bisa dihilangkan kedzalimannya. 

Lantas bagaimana solusi Islam jika tidak boleh mematok harga, padahal harga sudah melambung dan tak terbeli oleh kebanyakan masyarakat? Maka negara harus mendatangkan barang yang dipatok tadi dari berbagai wilayah yang lain yang surplus. Kemudian menyebarkan ke pasar sehingga ketika barang tidak sudah diakses rakyat harga bisa stabil. 

Hal ini pernah dilakukan Umar bin Khattab ketika Madinah mengalami gagal panen dan paceklik melanda, harga barang kebutuhan pokok melambung. Umar meminta kepada salah satu walinya yang di Mesir untuk mensubsidi barang kebutuhan langka di Madinah. Bukan dengan mematok harga. 

Namun inilah fakta ekonomi yang disusun berdasarkan aturan kapitalisme. Dimana asasnya bukan halal haram namun manfaat materi belajar. Maka mematok harga, menimbun dan permainan harga adalah sarana-sarana yang diambil, bagian dari apa yang mereka bolehkan untuk mengambil keuntungan. Sebab memang, dari praktik ketiganya, bagi yang bermodal besar ia akan mampu mendominasi pasar dan meraup keuntungan jauh di atas normal. 

Jelas bertentangan dengan prinsip Islam, dimana penguasa dan negara hadir sebagai pelayan umat. Bukan berhitung untung rugi. Kemudian menjilat pantat investor asing kelas kakap. Rasulullah bersabda ,"Imam itu adalah laksana penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya)." (HR. Imam Al Bukhari dan Imam Ahmad). Maka semua kebutuhan umat, lapar dan hausnya, sedih dan senangnya, sejahtera dan tidaknya adalah tanggungan negara. 

Sebab dampak terburuk dari penetapan harga ini adalah rusaknya jalur distribusi, konsumsi bahkan produksi akibat kelangkaan barang dan meruginya pedagang kecil karena rusaknya harga. Jika perekonomian rusak, akankah akan tegak berdiri sebuah negara yang kuat? Jelas tidak, sebab akan menjadi bahan Bulliying negara-negara lain yang lebi sattle perekonomiannya. 

Dan jelas, subsidi terbuka yang diambil pemerintah tidak akan menyelesaikan persoalan akar, karena kelangkaan minyak dan melambungnya harga berawal dari produsen CPO yang lebih memilih menjual produknya ke luar negeri. Selisih harga yang tinggi yang menarik perhatian mereka, padahal mereka menanam sawitnya di tanah milik negara dan umum. 

Industri Indonesia juga lemah, sebab hanya mampu mengelola dari bahan mentah menjadi CPO saja, sementara proses selanjutnya yang mengelola adalah industri negara asing. Kita beli minyak jadinya, padahal kitalah penghasil sawit terbesar di dunia menyalip Malaysia, bukankah ironi?

Keberpihakan negara kepada investor asing inilah yang turut menyumbang langkanya minyak. Padahal dari aktifitas jual beli CPO indonesia hanya terima pajak dan royaltinya saja. Sungguh keadaan yang tidak idealis. Akhirnya, memang kita harus bisa mencabut aturan kapitalis dan menggantinya dengan aturan Islam yang lebih memberikan bukti bukan janji, memberikan kesejahteraan hakiki bukan pembuat Panic buying di setiap komoditas pasar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun