Menatap kembali deretan foto di album membuat pikiran melayang ke puluhan tahun ke belakang. Sampul album foto ini memang telah usang, namun kenangan saat menatap wajah satu persatu tak pernah usang. Ada sedikit terlupa, namun tak terlalu payah menariknya kembali.Â
Ya, sahabat pena, sahabat dunia maya. Korespondensi. Pertemanan berbekal selembar kertas, amplop dan perangko terkirim ke berbagai belahan dunia. Darinya aku mengenal dunia tulis menulis. Dan panggilan yang paling merdu saat itu adalah suara tukang pos, dalam sehari bisa terima 2-5 pucuk surat.Â
Saat itu usiaku masih sepantar dengan anakku nomor dua , SMP kelas 1 sekira 13 tahunan. Karena sekolahku di kecamatan, maka kost jadi alternatif utama. Selain hemat biaya transportasi juga energi. Saat itulah muncul keinginan membunuh sepi sendiri di kamar kost dengan melakukan sesuatu yang asyik. Namun tak ingat lagi dari mana awalnya aku memulai menulis surat, yang penting ketika itu mata berubah menjadi hijau ketika melihat deretan foto dan identitas pemilik foto di majalah.Â
Tak tahu pula siapa sahabat pena pertama yang aku surati, namun cukup kagum dengan keberanian (baca: nekat) yang kumiliki untuk mulai menginventarisir data pribadi di foto-foto itu, mengiriminya surat perkenalan dan secara berkala akhirnya saling bertukar balas dengan surat. Namun kegiatan itu lama-lama menjadi hobi dan nagih. Dari sahabat pena dalam negeri, beralih ke luar negeri. Dengan bahasa Inggris belepotan pula.Â
Dari kegiatan itu jadi tahu apa yang menjadi kegiatan mereka di belahan tempat yang lain. Seringkali berangan-angan bagaimana jadinya jika ada kesempatan bertemu langsung? Akankah seramai percakapan dalam surat? Mungkin hanya foto-foto yang mewakili keinginan itu, karena hingga kini hanya beberapa dari puluhan sahabat pena yang bisa benar-benar bertemu secara phisik.Â
Ada sahabat dari Manado, yang dengan setia mengirimi beritanya sejak kami SMA hingga ia menikah dan memiliki anak, ketika kutanya mengapa tidak kuliah, jawabnya tradisi keluarga kami memang begitu kak, anak perempuan harus segera menikah. Kemudian ia kirimi foto anaknya dari baru lahir hingga sudah mulai belajar jalan.Â
Ada pula sahabat dari Bandung, pecinta alam bebas, selalu mengirimi foto pendakiannya, terakhir ia mengirim foto ketika ada di puncak Rinjani, Nusa Tenggara Barat. Tak jelas mengapa kemudian hubungan kami terputus, mungkin karena sama-sama sudah kuliah dan disibukkan oleh kegiatan kuliah.Â
Banyak lagi, dari Magetan, Semarang, Pekalongan, Jakarta, Batam, Bangka, Bali, Makasar, Yogyakarta, Balikpapan, Lombok, dan lainnya bahkan dari Jepang. Aku berkenalan dengan Mr Hiro begitu dia menyebut namanya saat dia berkunjung ke Indonesia karena urusan bisnis dan kebetulan lewat depan kostanku, saat itu ibu kostku sedang ada hajat pernikahan , bisa jadi bule Jepang itu tertarik dengan adat Jawa yang saat itu sedang dihelat, saat dia mengambil foto kuberanikan berkenalan. Amazing! Dia memberikan dan meminta aku mengiriminya surat.
Waktu itu, aku segera berkirim kartu pos dengan panorama gunung Bromo sebagai latar belakang. Sebagai balasannya Mr Hiro mengirimiku kartu pos berlatar belakang panorama kuil-kuil di Jepang, gunung Fuji dan deretan sakura yang bermekaran. Hem..makin tertantang, namun entahlah, apakah bahasa Inggrisku memang bisa ia mengerti tanpa penerjemah atau ia asal balas saja, ah, konyolnya masa muda itu..
Terakhir, bertemu dengan Mr Hiro saat aku SMP kelas tiga, ia mengirim sopirnya untuk menjemputku ke hotel dimana ia menginap, agak ragu juga, namun sang sopir meyakinkan bahwa tak ada maksud buruk, hanya akan berbagi hadiah, namun karena keterbatasan waktu Mr Hiro tak bisa kemana-mana. Sekali lagi, kenekatanku muncul, pikir naifku kalau bahaya bisa lari. Dan bersyukur, benar-benar Mr Hiro hanya membagikan hadiah, saat itu di tata di atas kasur, mulai dari tumpukan kartu pos, jam tangan, jus buah, sapu tangan, kue-kue, sweater dan pernak-pernik lain yang sebagian besar lupa.Â