Baru-baru ini beredar kabar mengenai Gerakan Literasi Nasional yang diinisiasi Kemendikbud. Mereka membuat berbagai persyaratan yang sangat ribet. Tidak boleh bertentangan dengan nilai pancasila, SARA, porno, kekerasan, dan kebencian.
Sekilas mungkin tidak begitu bermasalah. Tapi bagaimana membuat parameter itu semua? Jelas pembuat kebijakan ini kurang sekali baca buku. Sehingga mereka tidak memiliki wawasan yang cukup dalam membuat kebijakan.
Literasi jelas menjadi pergulatan berbagai pemikiran. Mau tidak mau akan membicarakan, mempertanyakan, menggugat, bahkan menolak apa yang menurut mereka perlu diperlakukan demikian. Mau tidak mau pula membicarakan agama, dapat pula membenci, mengimajinasikan kekerasan.
Pemangku kebijakan yang kurang baca buku ini menganggap pembaca adalah tabula rasa. Kalau baca porno, terus cabul, terus memperkosa. Padahal kalau cabul tetap saja cabul. Tidak ada urusan dengan buku bacaan. Justru bahan bacaan menjadi semacam akibat, bukan sebab. Begitu juga dengan hal lain. Kalau ada cerita silat, apa ya saya langsung bisa silat terus melakukan jurus rawarontek pada teman sebaya? Hemm. Sama sekali ra mashoook!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H