Telah beredar video seorang ibu eks-ISIS yang menginginkan pulang kembali ke tanah air. Banyak yang mencibir, ia dianggap tidak pantas kembali ke tanah air karena telah berbaiat kepada teroris. Katanya berjihad, tapi takut mati, katanya.
Saya merasa sedih, pertama untuk para pencibir itu. Tidakkah mereka sadar, jika kita jika kita tega membiarkan mereka mati kelaparan di sana, kita tidak ada bedanya dengan para kombatan ISIS yang dengan kejam membunuh warga, memanfaatkan konflik perang saudara, dan merebut kekuasaan. Bagaimanapun, mereka tetap manusia.
Jika ada yang barangkali merasa menyesal telah ikut suaminya berbaiat, kini menyesal, jelas kita harus mencari cara bagaimana menyelamatkan mereka. Seorang ibu di dalam video itu hanya mengikuti naluri keibuannya, tidak tega melihat anak-anaknya terlunta-lunta di tanah gersang. Justru saat itulah rasa kemanusiaan kita diuji, sampai batas mana.
Jika memang ia terlibat melakukan tindakan kriminal, tentu ia wajib dihukum sesuai dengan kadar kejahatannya. Jelas sikapnya berbaiat pada ISIS menjadi problem tersendiri.
UU Kewarganegaraan kita menyatakan, jika seseorang telah melakukan sumpah setia, maka status kewarganegaraannya hilang. Inilah rasa sedih saya yang kedua. Bagaimana rasanya menjadi seseorang yang tidak punya kewarganegaraan.
Sepertihalnya kasus Rohingya, mereka juga tidak diterima dimana pun. Lalu banyak imigran negara konflik yang mencari suaka di negara-negara Eropa dan Amerika. Kebijakan anti-Imigran Trump jelas menjadi ancaman pula bagi mereka. Di sisi lain, ini memang sisi gelap jaman negara-bangsa yang mendefinikan manusia lewat imajinasi batas-batas wilayah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H