Mohon tunggu...
Humaniora

Hukum, Tolonglah Adil

27 Mei 2017   11:27 Diperbarui: 27 Mei 2017   12:45 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

               Humanisme? Gabungan dua kata yang tidak lagi asing di telinga. Bagi saya, humanisme tercipta karena adanya manusia. Tidak jauh dari kehidupan sehari-hari. Senyum, hal yang mudah dilakukan setiap makhluk Tuhan yang berakal ini. Cukup dengan tersenyum, terkadang atau lebih sering dapat menghilangkan kecanggungan antara dua orang yang tidak saling mengenal namun ditakdirkan bertemu. Terkadang seseorang yang hanya bisa senyum untuk mengawali keakraban dibilang sok asik,ada juga yang hanya berjalan lurus tidak menoleh 5 derajat pun dikata songong banget sih.Bagi saya untuk menanggapi semua itu hanya bodo amat,yang terpenting saya senyum untuk menjadi manusia baik yang diharapkan Tuhan.Awalnya saya perlu berkompetisi antara tangan yang mengetik dan hati serta otak yang mencurahkan ide. Sering tersibat pemikiran janggal tentang humanisme. Pantas atau tidak saya memikirkan sekaligus mengetik tentang humanisme. Sedangkan saya sama seperti manusia lain, tidak pernah dan sangat jauh dari kata sempurna.

               Pancasila sebagai dasar sebuah negara yang disebut-sebut negara kepulauan, Indonesia. Negara yang saya banggakan, tempat dimana segala keindahan ciptaan Tuhan berada. Lima dasar untuk hidup yang damai nan tenang. Secarik lembar bertuliskan Pancasila pun sudah cukup mengajarkan tentang hidup yang tidak meninggalkan perbedaan. Banyak dari mereka yang rajin berkomat-kamit menyebutkan Pancasila, tapi butuh fanatik dan rasisme untuk hidup. Seiring bertambahnya manusia yang hidup di Indonesia, bertambah pula jumlah manusia yang rajin berucap: Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Namun, benarkah keadilan di negara ini telah tercipta? Nyatanya masih banyak hukum yang memandang bulu. Menidakadilkan sebuah perbedaan di masyarakatnya.

               Indonesia yang bersedih ini membutuhkan sebuah aksi nyata dari Pancasila. Seperti yang sedari dulu saya harapkan dari negara ini. Tidak banyak, namun berdampak besar dalam lingkup kehidupan Indonesia. Satu kata adil yang benar maknanya tumbuh di kalangan kita. Saya sebagai bagian dari masyarakat Indonesia sangat berharap mengenainya. Haruskah ada pengistimewaan sikap oleh hukum kepada mereka yang beruang? Hilangnya pengistimewaan manusia berjas hitam. Disampingnya menggandeng perempuan tinggi menjinjing tas berlapiskan emas. Tinggi harapan saya dan mungkin sebagian masyarakat kecil yang hanya bisa mengumpulkan kayu kering untuk bahan perapian. Mengenai keadilan yang diberikan hukum untuk kami semua yang sama-sama ciptaan Tuhan, sama-sama membutuhkan karbohidrat dan oksigen untuk bertahan hidup. Mereka yang korupsi hanya dihadang 5 tahun penjara. Dibanding dengan ibu tua yang mencuri sandal. Perbedaan drastis antara ia yang korupsi terpampang nyata telah ada bukti dengan ibu tua yang mungkin tidak bermaksud mencuri. Sebab mata sudah terlalu tua seiringan dengan umur menjadi penyebab lain. Ibu yang renta dengan tega dibebani hukuman yang amat berat. Dimanakah keadilan Pancasila yang hampir 72 tahun sering diucap?

               Memang beginilah hidup. Terkadang yang jelas terlihat salah ditutupi kesalahannya. Sebaliknya, orang sibuk mengorek kesalahan orang lain yang mungkin mengambil uang jatuh pun tidak pernah. Kita sedang hidup di zaman dimana keadilan sangat diincar, tetapi justru hilang sendiri atau sengaja dihilangkan. Keadilan itu butuh rasa ikhlas. Ikhlas melihat saudara dari seorang Adam dan istrinya Hawa hidup bahagia. Mengenai berbeda asal-usul, keturunan, warna kulit, kemajuan serta cara hidup itu urusan terakhir. Yang utama, bisakah setiap orang memberikan rasa ikhlas kepada sesamanya? Jika belum berarti manusia itu kikir. Untuk kebaikan dirinya saja tidak rela, apalagi kebaikan orang lain. Memang sudah takdir, sengaja Tuhan menuliskan skenario seperti ini. Jika tidak, buat apa neraka? Sudah kehilangan fungsi awal alasan neraka dibuat. Saya pun masih sering ingin menang sendiri. Namun bagaimanapun, saya masih berpikir untuk mencontoh Tuhan yang adil membagi rezeki kepada makhluknya yang tersebar di seluruh dunia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Jalan Braga Bandung, Ketika Bebas Kendaraan!

7 bulan yang lalu
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun