Apakah kalian pernah melihat teman-teman di sekitar kalian menggunakan vape, atau mungkin kalian sendiri yang menggunakan vape tersebut? Apakah saat kalian menggunakan vape, kalian merasa lebih "keren" dan lebih diterima di lingkungan pertemanan kalian? Coba pikirkan lagi, apakah kalian pernah merasakan atau mengalami hal seperti itu?
Remaja zaman sekarang pasti tidak asing lagi dengan vape. Dikutip dari Kompas.com (2022), vape adalah perangkat pengantar nikotin elektronik bertenaga baterai yang menyerupai rokok. Zaman sekarang remaja mana yang tidak menggunakan vape? Pasti ada satu atau lebih orang di lingkungan pertemanan kalian yang menggunakannya. Tetapi, apa sebenarnya tujuan dari menggunakan vape? Apakah untuk menonjolkan diri dan dianggap "keren" oleh teman-teman? Hal tersebut tidak sepenuhnya salah, karena pada masa remaja kita sedang berusaha untuk menemukan jati diri kita. Nah, dalam proses mencari jati diri inilah kita berusaha untuk terlihat lebih menonjol di antara teman-teman kita agar merasa diterima. Benar, kan? Kita sering merasa bahwa dengan menggunakan vape, kita bisa mendapatkan pengakuan di lingkungan pertemanan. Hal ini didukung oleh data dari Global Adult Tobacco Survey (2021), yang menyatakan bahwa pada tahun 2021, jumlah perokok elektrik yang didominasi usia 15 tahun ke atas naik menjadi sepuluh kali lipat dalam sepuluh tahun terakhir.Â
Yang menjadi pertanyaannya adalah, mengapa kita merasa "keren" saat menggunakan vape? Mengapa kita bisa begitu mudah terdorong untuk menggunakan vape dan selalu berusaha terlihat keren? Nah, hal ini tidak terjadi begitu saja! Ternyata, yang mempengaruhi hal tersebut adalah perkembangan otak kita pada masa remaja yang membuat keinginan kita untuk diterima di lingkungan sosial meningkat. Perkembangan otak pada masa remaja mengalami banyak perubahan, khususnya pada bagian korteks prefrontal medial yang bertanggung jawab untuk memproses pendapat orang lain tentang diri kita, sehingga membuat kita menjadi sangat peka terhadap pendapat orang lain. Selain mendengar pendapat orang lain, kalian juga pasti pernah merasa ingin meniru orang-orang di sekitar kalian, bukan? Tim Smith mengatakan bahwa remaja menggunakan area otak sosial lebih banyak daripada orang dewasa ketika mereka menghadapi dorongan sosial atau emosional (Scott et al., 2017). Oleh karena itu, kita cenderung lebih mudah untuk meniru cara orang lain berperilaku agar merasa diterima. Perubahan neurologis inilah yang membuat kita rentan terpengaruh oleh teman-teman sebaya, termasuk dalam hal penggunaan vape yang seringkali dimulai dari pergaulan.Â
Selain itu, pada masa remaja, otak kita masih belajar bagaimana cara mengendalikan impuls dan membuat keputusan jangka panjang. Hal ini yang membuat kita lebih mudah terjebak dalam perilaku impulsif seperti vaping tanpa mempertimbangkan risiko ke depannya. Benarkan kalian yang menggunakan vape saat ini, pasti tidak banyak yang memikirkan risiko penggunaan vape tersebut ke depannya? Padahal, banyak sekali risiko yang merugikan kalian loh! Selain itu, dalam penelitian Krysten W. Blod, ditemukan bahwa banyak remaja yang mencoba vaping menghadapi kesulitan untuk berhenti karena ketergantungan. Hal ini didukung oleh data dari Library of House and Commons Research (2019) yang menunjukkan bahwa delapan puluh persen remaja yang mencoba vaping akhirnya menjadi ketergantungan. Sebagian dari ketergantungan ini disebabkan oleh kurangnya perkembangan korteks prefrontal yang di mana pada usia remaja belum sepenuhnya mampu mengontrol dorongan atau merencanakan konsekuensi jangka panjang.Â
Penggunaan vape di kalangan remaja sering kali dimulai dari keinginan untuk diterima atau terlihat keren yang terjadi akibat perkembangan otak remaja pada bagian korteks prefrontal medial. Namun, hal ini justru membawa risiko besar serta meningkatkan ketergantungan yang sulit diatasi. Padahal, masih banyak kegiatan positif yang dapat dilakukan untuk dianggap "keren." Contohnya adalah dengan berolahraga. Bergabung dengan kelompok olahraga seperti basket, futsal, atau bulu tangkis dapat membantu kita menjadi lebih percaya diri. Selain itu, kita juga bisa menjadi relawan dan aktif dalam kegiatan sosial. Kegiatan ini dapat membantu kita bertemu dengan banyak orang dan memperoleh pengalaman hidup yang lebih berharga.
Penting bagi kita untuk mulai memikirkan dampak jangka panjang dari setiap keputusan yang diambil. Oleh karena itu, berhentilah mengabaikan risiko yang mungkin terjadi akibat penggunaan vape. Kita sebagai remaja dapat memanfaatkan kemampuan dan waktu yang kita miliki dengan cara yang lebih baik. Merasa "keren" dan diterima di lingkungan sosial tidak perlu dilakukan dengan menggunakan vape. Mari bersama-sama membangun generasi yang lebih sehat, percaya diri, dan bermakna tanpa perlu menggunakan vape. Mulailah perubahan dari diri sendiri, karena masa depan ada di tangan kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H