Dalam kartel, nama Sudirman Said (SS) bukan anak kemarin sore. Sepak terjang SS bermula di Pertamina. Karir SS dalam kartel tambang dimulai ketika ia menduduki jabatan Senior Vice President (SVP) untuk Integrated Supply Chain (ISC). Bagaimana bisa seorang lulusan STAN bisa duduk dalam bisnis pertambangan?
Inilah peran Endriartono Sutarto, mantan Panglima TNI Era SBY, yang menduduki jabatan Komisarin Utama Pertamina. Endriartono Sutarto sendiri sempat punya hubungan “manis” dengan Rini Sumarno. Tarto lah yang membawa SS ke Pertamina. Ia menitipkan SS kepada Ari Sumarno, Direktur Pertamina kala itu. Ari Sumarno sendiri merupakan kakak kandung dari Rini Sumarno. Oleh Ari, SS dijadikan staf ahli Dirut yang selanjutnya diberi tugas sebagai SVP.
Bagaimana awal mula kedekatan Endriartono Sutarto dengan SS?
SS berhasil mengambil hati Endriartono Sutarto ketika masih menjadi Tim Penataan Unit Bisnis TNI. Satu paket dengan SS, ialah Karen Agustiawan (sosok yang pada akhirnya menggantikan Ari sebagai Dirut), dan Widhyawan Prawiraatmadja (saat ini Staf Ahli Menteri ESDM).
November 2008, selang beberapa hari setelah dilantik sebagai SVP, dia langsung terbang ke London bersama Daniel Purba (Vice President ISC) dan menginap di Rizt Carlton untuk bertemu dengan Perusahaan Minyak Nasional (NOC) Libya yang difasilitasi oleh Concord Energy. Pertemuan itu menyepakati pasokan minyak mentah ke Pertamina dengan harga yang telah diatur.
Penunjukkan langsung dari Dirman itu jelas melanggar prosedur tata cara pengadaan minyak di Pertamina. Tidak ada klausul mengenai pertunjunkan langsung. Semua pengadaan harus dilakukan dengan mekanisme tender, termasuk jika ada NOC dari sebuah negara yang ingin memasok minyak ke pertamina. Pelanggaran lainnya, tidak adanya persetujuan dari tiga Direktur lain di pertamina sebelum sebuah dokumen pengadaan minyak ditandatangai.
Cara SS Bermain di Hulu Migas
Petualangan bisnis SS tak kenal lelah. Bukan saja di Pertamina dan Freeport, SS juga main di kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas di Indonesia. Bahkan SS sudah perintah ke Amien Sunaryadi, Kepala SKK Migas, untuk menyetujui change order berjumlah jutaan US$ di proyek Donggi Senoro. Akibatnya, cost recovery yang harus dibayar oleh negara meningkat drastis.
Pengeluaran terbesar karena Inpex Corporation ingin membuat kilang LNG terapung (FLNG) dengan kapasitas produksi 7,5 ton per tahun. Padahal menurut Menko Kemaritiman Rizal Ramli, investasi pembangunan fasilitas pengolahan LNG darat atau Land Based LNG jauh lebih murah ketimbang membangun fasilitas FLNG di Blok Masela. Apabila biaya untuk membangun FLNG bisa menghabiskan dana US$ 19,3 miliar, maka Rizal menghitung kebutuhan pendanaan untuk membangun Land Based LNG hanya sekitar US$ 14,6 miliar sampai US$ 15 miliar. (Sumber: http://www.pikiranrakyat.com/ekonomi/2015/10/06/345076/pengembanganproyekgas-abadidimasela )
SKK Migas pun pernah menyatakan akan mengkaji ulang perjanjian pembangunan FLNG tersebut. Namun demikian, menurut Direktur Pengusahaan Hulu Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM dengan melakukan kajian ulang, pengembangan lapangan Abadi akan molor. Selain itu, Tripatra, anak usaha Indika Group, menjadi kontraktor di proyek itu atas pesanan SS. SS juga mengawinkan Pelindo 3 dengan Petrosea membangun pelabuhan dan shorebase logistic di Kupang untuk menjadi pangkalan logistik proyek Abadi Masela.
Satu hal yang juga mengejutkan dari SS ialah pemberian perpanjangan kontrak Bagi Hasil ONWJ kepada PT Energi Mega Persada Tbk (EMP) anak usaha Grup Bakrie November 2015. Padahal operator Blok itu adalah Pertamina. Bahkan, Direktur Utama EMP, Imam Agustino menegaskan, “100 persen akan dikelola oleh EMP.”
Banyak kalangan juga tahu bahwa EMP di Blok itu tidak baik kinerjanya, dan karenanya sudah semestinya Blok yang dioperasikan oleh Pertamina itu dialihkan hak pengelolaan sepenuhnya ke Pertamina. Sementara di Blok Mahakam, SS begitu semangat memberikan 100% kepada Pertamina. Apa yang dimaui SS? (Sumber: http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/201511131205438591436/energimega-persadakantongiperpanjangankontrakblokgebang/ )
Keputusan aneh SS ini merupakan desakan dari Rini yang ingin memberikan konsesi kepada Bakrie Group. Parahnya lagi, SS menyerahkan Blok Gebang di Sumatera Utara kepada EMP Group, padahal di sana Pertamina mengusai 50% saham.
SS, Private Jet dan Helikopter
SS sepertinya tahu bagaimana memaksimalkan jabatannya sebagai ESDM 1 untuk mendapatkan fasilitas mewah dan kemudahankemudahan dari pebisnis migas. SS kerap meminta fasilitas pesawat jet pribadi maupun helikopter pribadi untuk tugas kedinasannya. Tidak perlu minta pendapat aktivis anti korupsi yang “hebat” seperti Dirman ini apakah fasilitas itu gratifikasi atau tidak, karena publik awam pun tahu itu jelasjelas gratifikasi. SS bisa diseret ke KPK karenanya. (sumber: http://politik.rmol.co/read/2015/05/27/204157/BeginiCeritaSudirmanSaidNaikJetPribadi-DiongkosiPetral-)
Memang nikmat bagi seorang SS pergi dinas tanpa harus sibuksibuk antri dan mengikuti prosedur sebagai penumpang pesawat komersial. SS jelas mengabaikan kebijakan Jokowi yang meminta para pejabatnya mengedepankan kesederhanaan bukan kemewahan. Atau, janganjangan SS—dengan dukungan politik, media, dan mafia migas, sudah merasa berkuasa selayaknya Presiden dan karenanya layak mendapat fasilitas setingkat presiden, meski dengan cara menekan perusahaanperusahaan migas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H