Kala 11 Anggota Dewan Disana Hanya Bisa Jadi "Parlemen Jalanan".
Kemampuannya duduk jadi Anggota Dewan hanya membawa modal bisa : CURIGA
Curiga uang negara akan disikat habis oleh eksekutif, curiga uang negara akan dibagi-bagikan eksekutif di sekeliling kroni-kroninya, curiga uang negara akan digunakan untuk memenangkan calon tertentu. Ada indikasi-indikasi, ada  gelagat-gelagat, katanya.
Bahkan KPU dan Bawaslu dipandang telah memainkan skenario besar bawah tanah dalam kontestasi politik menurut pikiran jenis ini. Gemar membuat "hantu-hantu" dalam bayangannya sendiri.
Orang seperti ini memang memesona bagi sebagian kita, seolah-olah dia mewakili perasaan rakyat.
Cara berpikir begini akan "sempurna" apabila tertular lagi bibit pikiran ala penganut "teori konspirasi" oleh Partai Korupsi Sapi (PKS) dulu, partai yang apa-apa dicurigai sebagai konspirasi Yahudi, sedikit dipandang berlainan dengan pahamnya dicurigai ingin hancurkan Islam. Atau mungkin banyak melihat vidio para oknum habib tertentu yang apa-apa dianggap kebangkitan komunis. Maksudnya ini tentang "penyakit" cara berpikir "serba curigaan".
Pemikiran "modal curiga" ini sebenarnya dapat menularkan sikap destruktif massal yang merusak tatanan.
Bayangkan bila parlemen semuanya modalnya hanya bisa curiga pada eksekutif, barangkali tidak ada anggaran yang disetujui didunia ini. Cuma gara-gara satu saja, curiga.
Indonesia termasuk negara korup didunia, mending tidak usah dikeluarkan itu APBN kalau mengikuti cara berpikir jenis begini.
Pikiran semacam ini bukan cara berpikir Anggota Dewan yang terhormat, persis seperti cara berpikir "Parlemen Jalanan". Memang sebenarnya manakala anggota DPR atau DPRD tiap membahas sesuatu caranya melawan hanya dengan cara curiga dan tidak ikut pembahasan, asli dia telah menempuh sebagai "Parlemen Jalanan" sebenarnya. Mendingan menjadi aktivis saja.
Makanya partai seharusnya selektif menyaring anggota DPR/DPRD yang mempunyai kemampuan sesuai fungsinya sebagai anggota Parlemen.
Sesuai tugasnya, menjadi anggota DPR/DPRD harus mampu melakukan tugas ini salah satunya :
Anggaran, misalkan di DPRD dia berwenang membahas dan menyetujui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) bersama bupati atau kepala daerah.
Ingat, disitu disebut "membahas", disitu dia harus ikut membahas, dia harus tampil lihai dalam pembahasan anggaran, pintar mengkalkulasi supaya kecurigaannya tidak terjadi. Bukannya justru keluar menjadi "Parlemen Jalanan", tidak mau ikut membahas karena curiga pokoknya.
Pengawasan,
misal kasusnya di DPRD dia berwenang mengawasi pelaksanaan Perda, APBD, peraturan bupati, keputusan bupati dan kebijakan pemerintah daerah.
Nah, disitu bahkan dia diberi kuasa untuk mengawasi apa yang dicurigainya. Tapi kalau datang ke kantor DPRD cuma ngobrol lalu pulang untuk tidur, bangun tidurnya curiga APBD telah di tilep oleh eksekutif ya susah dengan orang seperti ini.
Memang orang-orang seperti tadi tidak cocok menjadi anggota dewan, cocoknya hanya sebagai "Parlemen Jalanan" yang koar-koar saja diluar arena pembahasan.
Rakyat telah salah pilih wakil rakyat bila terpilih yang seperti ini. Duduk jadi anggota dewan yang seharusnya "duduk" untuk membahas anggaran, ini malah keluar arena pembahasan menjadi "Parlemen Jalanan", membahas dan mengawasi anggaran juga tidak mampu tapi berani duduk di DPRD.
Percayalah, rakyat yang jadi korban oleh anggota dewan yang seperti ini bahkan semakin menambah beban rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H