Pangeran Diponegoro merupakan putra sulung Raden Ayu Mangkorowati (Putri Bupati Pacitan), selir dari Sri Sultan Hamengku Buwono III. yang lahir di Kraton Yogyakarta pada tanggal 11 November 1785 . Beliau bernama kecil Bandoro Raden Mas Ontowiryo dan seetelah dewasa kemudian bergelar Kanjeng Pangeran Diponegoro. Walau berdarah ningrat, namun karena ingin menekuni keagamaan dan dekat dengan rakyat biasa, Kanjeng Pangeran Diponegoro lebih memilih tinggal di luar keraton dan menetap di puri kediamannya di desa Tegalrejo.
Sosok tentang Pangeran Diponegoro itu sendiri tentu banyak yang mengetahuinya melalui pelajaran Sejarah atau melalui foto dan poster-posternya. Namun mungkin ada banyak yang belum tahu tentang kediaman dan Benda-benda peninggalan Pahlawan nasional itu. Untunglah ada sebuah museum yang dibangun dengan bertujuan untuk mengenang sosok dan Perjuangan Pangeran Diponegoro sekaligus juga untuk menyimpan benda-benda peninggalan yang berkaitan dengan Pangeran Diponegoro.
Museum itu adalah Museum Sasana Wiratama / Monumen Diponegoro yang berlokasi di Jl. HOS Cokroaminoto TR.III/430 Tegalrejo, Yogyakarta. Sekitar 3 km dari Pusat Kota Jogjakarta.Museum ini berada di lahan seluas 2 hektar. Dulunya merupakan puri kediaman Pangeran Diponegoro. Oleh ahli waris Pangeran Diponegoro yaitu Raden Ayu Kanjangteng Diponegoro, lahan berserta segala segala seuatu di atasnya itu kemudian diserahkan kepada pemerintah dan kini menjadi milik Keraton Jogjakarta.
Di tempat inilah mulai pertengahan tahun 1968 hingga 19 agustus 1969 dibangun sebuah monumen pada bangunan pringgitan. Letaknya menyatu dengan pendopo yang berada di tengah komplek. Pembangunannya diprakarsai oleh Mayjen Surono yang saat itu menjabat Panglima Kodam serta diresmikan oleh Presiden Soeharto. Tempat ini kemudian dinamakan Sasana Wiratama yang artinya tempat Prajurit.
Berkunjung ke museum ini terasa membawa kita mengenang perjuangan Pangeran Diponegoro dalam melawan penjajah Belanda. Ini bermula ketika pada masa kepemimpinan Hamengku Buwono V yang berkuasa pada tahun , Pangeran Diponegoro tidak menyetujui jika sistem pemerintahan dipegang oleh Patih Danurejo bersama Reserse Belanda.
Ketidaksetujuannya itu kemudian memuncak menjadi sebuah pemberontakan Pangeran Diponegoro dengan laskar-laskarnya pada tahun 1825, akibat tanpa seizin Pangeran Diponegoro Belanda membuat Jalan yang menghubungkan Yogyakarta dan Magelang melewati halaman rumah beliau. Belanda kemudian mengerahkan pasukannya untuk menyerang dan menangkap Pangeran Diponegoro pada tanggal 20 Juli 1825.
Ketika perang itu dimulai, pada sisi utara, timur dan selatan halaman rumah Pangeran Diponegoro telah dikepung pasukan Belanda. Laskar atau prajurit Pangeran Diponegoro yang tinggal di sisi Barat tetap bertahan dengan melakukan perlawanan keras. Di bawah pimpinan Joyomustopo dan Joyoprawiro, laskar terdesak mundur karena kekuatan berbeda jauh.
Mengetahui hal itu, Pangeran Diponegoro yang berjubah putih dengan sorban putih yang terlilit di kepalanya memilih menjebol tembok barat puri dan menyelamatkan diri dengan menjauh ke arah barat. Itu dilakukannya untuk menyelamatkan keluarga dan laskarnya yang masih tersisa sambil mengatur strategi untuk penyerangan balik terhadap pasukan Belanda.
Karena bagi Pangeran Diponegoro, penyerangan pada dirinya itu justru merupakan awal dari perang yang sebenarnya. Pangeran Diponegoro beserta keluarga dan pasukannya menyelamatkan diri menuju barat hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo. Ia kemudian meneruskan ke arah selatan hingga tiba di Goa Selarong yang berada di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan – Bantul. Sekitar lima kilometer arah barat dari Kota Bantul.
Di Goa Selarong itulah Pangeran Diponegoro mengatur dan merancang strategi penyerangan dan menyatakan perang terhadap Belanda. Pasukan Belanda yang saat itu tidak berhasil menangkap Pangeran Diponegoro kemudian membumihanguskan puri kediaman Pangeran Diponegoro. Sejak saat itu, peperangan dan penyerangan terhadap Belanda terus dilakukan oleh Pangeran Dipoengoro dan laskarnya.Perang Diponegoro yang dalam buku-buku sejarah karangan penulis Belanda disebut Java Oorlog ( Perang Jawa ) itu berlangsung sejak tahun 1825 hingga tahun 1830.
Dalam perang selama lima tahun itu, kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara serta menghabiskan dana hingga 20 juta gulden. Walau Belanda menderita kerugian besar serta menjanjikan imbalan 50.000 gulden bagi yang bisa menangkap Pangeran Diponegoro itu ternyata, Belanda belum juga mampu menangkap Pangeran Diponegoro. Pada Tanggal 28 Maret 1830, bersama pengikutnya , Pangeran Diponegoro menemui Letnan Gubernur Jenderal Markus de Kock karena sebelumnya beliau ditemui oleh utusan Belanda untuk berunding di Magelang.Pada pertemuan tersebut Belanda memaksa Pangeran untuk menghentikan perang.
Permintaan itu ditolak Pangeran Diponegoro. Tetapi Belanda memang licik.Melalui Kolonel Du Perron sebelumnya Belanda telah menyiapkan rencana penyergapan dan penangkapan Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya.. Hari itu juga Pangeran Diponegoro ditangkap yang selanjutnya diasingkan ke Ungaran dan kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang. Pada tanggal 5 April 1830 Pangeran Dipoengoro dibawa ke Batavia menggunakan Kapal Pollux dan sesampainya di Batavia, beliau ditahan di Stadhuis (sekarang Gedung Museum Fatahillah).
Gubernur Jenderal Van den Bosch pada tanggal 30 April 1830, menjatuhkan hukuman pengasingan atas Pangeran Diponegoro, keluarga dan beberapa pengikutnya ke Manado. Karena Belanda menganggap Pangeran Diponegoro masih menjadi ancaman dan bahaya besar , pada tanggal 3 Mei 1830, Pangeran Diponegoro diberangkatkan dengan Kapal Pollux dan ditawan di Benteng Amsterdam. Pangeran Diponegoro dibawa kembali ke Indonesia pada tahun 1834 untuk diasingkan ke Makassar, Sulawesi Selatan, dan di tahan dalam pengawasan ketat di Benteng Roterdam.
Di benteng itulah, Pangeran Diponegoro akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 8 Januari 1855. Jasad beliau disemayamkan di Kampung Melayu Makassar, berdampingan dengan makam istrinya, Retnaningsih. Walau berada di lahan yang sangat luas, bangunan Museum Sasana Wiratama tidak begitu luas. Di Bangunan yang terbagi dalam beberapa ruangan itu pada ruangan pertama yang juga berfungsi sebagai kantor itu tersimpan Foto-foto lama tentang Pangeran Diponegoro
Ruangan yang berikutnya menyimpan lukisan kuno yang menggambarkan suasana penyergapan Pangeran Diponegoro oleh pasukan Belanda. Berbagai jenis jimat pelindung dan senjata yang digunakan oleh laskar atau prajurit Pangeran Diponegoro. Seperti senapan Kuno, panah, pedang, Tombak, keris, bandil ( martil dari besi ) dan jenis senjata tajam lainnnya juga bisa dijumpai disana.
Selain itu ada juga ‘ candrasa ‘ dan ‘ patrem ‘, senjata rahasia yang khusus digunakan oleh prajurit perempuan. Yang menarik juga terdapat koleksi berupa tiga buah Tameng yang terbuat dari bahan perunggu dengan goresan-goresan bekas sabetan benda-benda tajam di permukaan tameng.
Ada juga sepasang Patung Loro Blonyo dan sepasang lampu hias. perangkat gamelan dan perabotan sehari-hari seperti kendi, periuk, dan gerabah dari tanah liat
Beberapa koleksi museum berupa alat rumah tangga yang terbuat dari kuningan sekitar tahun 1700 terdiri dari tempat sirih , canting untuk membatik , teko , bokor hingga berbagai bentuk " kacip " ( alat membelah pinang untuk makan sirih). Pada ruangan yang terakhir terdapat koleksi berupa kereta kuda ala kerajaan pemberian Pemberian HB VIII yang disebut dengan nama Kyai Sedayu .
Pada halaman luar terdapat dua buah meriam kuno, tembok yang jebol dan dulunya menjadi jalan keluar bagi Pangeran Diponegoro, keluarga dan pengikutnya saat menyelamatkan diri dari sergapan Belanda.
Ada juga peninggalan Pangeran Diponegoro berupa Padasan (tempat berwudhu) dan Batu Comboran untuk tempat makan dan minum kuda-kuda milik Pangeran Diponegoro dan sepasang meriam kuno.
Pada bagian depan pintu masuk kompleks ini terdapat sebuah dinding setinggi dua setengah meter lebih dengan relief bergambar sesosok raksasa melawan seekor Naga. Relief itu ternyata adalah Sengkalan Memet ( Candra Sengkala ) yang berarti 5281 dan aturan membacanya secara terbalik ini mempunyai makna 1825 sebagai tanda pecahnya perang Pangeran Diponegoro.
Dengan berkunjung ke museum Sasana Wiratama dan menyimak jejak perjuangan Pangeran Diponegoro ini membuat kita bisa lebih menghargai jasa-jasa para pejuang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya