Â
TELPON genggamku berdering bersamaan dengan gemuruh knalpot motor di halaman. Segera, kutimpali dua wajah yang antusias menatapku, hanya melalui kode telpon yang kini menempel di telinga. Keduanya mengangguk pertanda paham, lalu mematikan mesin motor dan turun dari jok yang terpapas tipis.
Katanya, jok seperti itu adalah mode yang sedang trend. Padahal, betapa tersiksanya duduk di atas jok setipis itu, terlebih saat melakukan perjalanan jauh. Jok yang ketipisannya hampir serata rangka dalam, dengan mudah akan kempes saat diduduki. Dan pantat tipis mereka, sudah pasti akan mudah pegal dan terasa teriris-iris akibat terus-terusan terguncang, karena getaran mesin, polisi tidur atau karena jalan berlubang. Singkatnya, sama sekali tak nyaman.
Meski sepenuhnya sadar dan paham akan hal itu, namun apalah arti kenyamanan bagi manusia berpredikat gaul seperti mereka. Buktinya, mereka lebih menikmati lecutan kendaraan tunggangannya, ketimbang dengan ikhlas menerima sebutan ketinggalan zaman, katrok, kuper dan sebagainya. Maka, sepertinya benar apa kata nenekku, mereka adalah orang aneh dari generasi terseret zaman. Silau pada kemajuan, mementingkan gaya dan estetika, seringkali tak beretika, serta prasangka negatif lain yang tak lagi berkesesuaian dengan zamannya dulu. Simpulanku atas kata-kata nenek itu, disadari atau tidak, aku sama seperti mereka. Alasannya jelas, aku adalah bagian dari sekelompok umur yang kemudian disebut generasi.
Sementara mereka menunggu, aku santai saja mendaratkan tubuh pada kursi rotan berbantal busa. Mengatur posisi nyaman untuk bisa konsentrasi terhadap suara di telinga, juga pemandangan dua orang aneh di depanku.
Keduanya kini berjongkok menghadap motor yang juga dipangkas seceper-cepernya. Mungkin, ibu mereka sempat tergila-gila pada bonsai saat mengidam dulu. Sehingga papas-memapas, segala sesuatu yang bersifat pendek, mungil, mini dan minimalis, selalu terasa unik di mata mereka.
Entah, apa yang kini mereka perhatikan dari body dan mesin motor itu. Sesekali menunjuk, sesekali merabai, sesekali mengusap, sesekali memutari dan mengecengnya dari belakang, hingga menerawang bagian bawah. Tak ubahnya seperti peternak sapi saat hendak memeras susu peliharaannya. Bedanya, mereka tak mengolesi mentega sebagai pelumas.
Dari gestur tubuh, mimik juga percakapan yang kudengar dan sesekali kuperhatikan, keduanya memiliki teori tentang mesin juga modifikasi motor. ‘Bukan gitu, seharusnya gini! Jangan yang itu, lebih bagus yang ini!’ dan beragam sangkalan sekaligus anjuran yang mampu membawa mereka pada seteru perdebatan. Sudah pasti, tanpa solusi.
Keduanya saling menentang dan menantang lewat dua sisi argumen yang menurutku tak akan pernah bertemu. Yang satu berbicara masalah teknis, kendati sama sekali tak memahami cara kerja mesin. Satu lagi menimpalinya melalui sudut pandang estetis, seolah-olah sudah ada rancang-bangun yang paling mutakhir di kepalanya. Maka, apa yang mereka ributkan, sebenarnya tak lebih dari debat kusir yang tak berujung, tak juga berpangkal. Begitulah teori empirik yang mereka bangun lewat premis-premis yang salah. Kendati menemukan hasil yang benar sesuai pengalaman masing-masing, simpulannya belum tentu valid.
Apa pun itu, mereka adalah temanku, sahabatku, orang-orang terdekatku. Teman adalah saat aku tak pernah merasa sendiri dan menjadi bagian yang terkucilkan dari lingkungan sosial. Kami punya dunia dan mimpi bersama, juga punya struktur yang dibangun atas kesadaran kolektif, tanpa konsensus apa pun. Struktur yang tentu saja bersifat fleksibel. Terkadang menjadi bos saat uang saku melimpah. Terkadang menjadi kacung yang siap antar jemput, disuruh ke sana ke mari, beli ini-beli itu dan banyak lagi. Namun, seringkali juga kami berada di posisi yang setara, sama-sama menjadi kacung untuk orang lain.
Kami menjadi sahabat saat memahami satu sama lain. Kata orang, tak ada satu pun rahasia yang bisa disembunyikan dari sahabat. Setidaknya, itu benar. Buktinya, kami tahu di mana dan siapa saja yang menyembunyikan sisa uang di saat terdesak karena lapar. Meski diselipkan di tempat-tempat yang tersembunyi sekali pun. Alasannya tentu saja sederhana, kami selalu bersama. Maka konsekuensi logis dari kebersamaan itu adalah; makan atau sama sekali tidak makan. Memilih makan berarti harus rela berbagi, kendati satu potong roti dibagi tiga. Dan itu hal yang sudah biasa. Memilih tidak makan, sudah pasti akan membuat perut terasa melilit dan mengeluarkan suara-suara aneh di kedalaman. Kenyataannya, tak ada satu pun dari kami yang sanggup menahan perasaan sakit seperti itu. dan tak ada satu pun dari kami yang ingin terlibat dalam pertentangan dillema yang merugikan fisik dan pikiran. Karena itulah, kami menjadi orang-orang terdekat untuk satu dan lainnya.