Â
Sebagai lelaki yang tinggal di lingkungan serba berkecukupan bahkan bisa dibilang glamour, penampilannya terlalu sederhana. Sweater rajut hitam produk Binong Jati dengan garik putih di dada, selalu menjadi lapisan wajib bagi tubuhnya dalam berbagai suasana dan peristiwa. Katanya, ia akan merasa hangat saat saat udara dingin. Sementara saat panas, ia tak sedikit pun merasa gerah karena pori rajutan tak ubahnya seperti ventilasi, penyedia sirkulasi udara yang sempurna.
Nenek, paman hingga keponakannya, seringkali berkata, jika saja ada slayer yang melilit lehernya, lantas kepalanya ditutupi ‘kupluk’, maka tak perlu jauh-jauh pergi ke negeri seberang hanya untuk menyaksikan boneka salju. Tentu saja, itu hanya sekadar olok-olok untuk membuatnya sadar akan penampilannya. Herannya, olok-olokan itu malah dianggapnya sebagai pujian.
Pernah juga di satu acara ia dipaksa mengenakan jas. Namun, sweater hitam itu tetap saja dipakai sebagai rangkapan dalam. Kilahnya, itulah bukti jika sweater rajutannya cocok diaplikasikan dalam beragam situasi.
Semasa kecil dulu, ibunya pernah mengajak jalan-jalan ke Bali dengan seorang yang disebutnya paman. Entah paman dari silsilah yang mana. Nyatanya, hingga saat ini ia tak pernah bertemu lagi dengannya. Jangankan bertemu, mengenang wajahnya saja sepertinya sudah tak terbayang. Ia tak pernah heran dan mempermasalahkan itu. Tentu saja bukan hanya sekali ia diajak bermain dengan paman-paman yang tak pernah dikenalnya.
Anehnya, dari puluhan, mungkin ratusan kal ia diajak bermain ke luar kota, luar pulau hingga ke luar negeri, hanya Bali yang ia ingat. Satu hal yang mengingatkannya adalah gelang anyam nilon bermotif reggae; merah kuning dan hijau. Gelang yang hingga kini masih melekat sejak pertama kali digunakan di Negeri Dewata dulu.
Dengan gelang itu, lingkungan pertemanannya yang luas seringkali menganggap dirinya sebagai anak reggae. Padahal, kehidupannya lebih kental dengan musik dangdut. Bagaimana tidak, sejak kulitnya berwarna merah hingga hitam legam seperti saat ini, telinganya dipaksa kebal terhadap irama dangdut yang sendu, mendayu-dayu, bergenre koplo hingga rockdut. Jika saja irama tersebut hinggap di kupingnya, secara refleks, tangannya akan mengetuk-ketuk apa pun yang ada di dekatnya, sesuai dengan ketukan kendang. Dan anggukan kepalanya? Ahh!! Tak ubahnya seperti trend boneka yang pernah menempel di dashboard mobil. Mengangguk-angguk sesuai tempo.
Junior, begitulah namanya. Lingkungan keluarga memanggilnya Juni, sesuai dengan bulan kelahirannya. Sementara lingkungan pertemanannya lebih akrab dengan sebutan Jun. Sebutan yang lebih pantas dianggap sebagai olok-olokan. Pasalnya sebutan itu memang diambil dari tayangan sinetron semasa kecilnya; Jin dan Jun. Sebuah tayangan yang merefleksikan pertemanan dua bangsa yang berbeda, jin dan manusia.
Tanpa disadari, olok-olokan itu malah melekat sebagai dentitasnya. Bahkan orang-orang dewasa menganggap sebutan Jun sangat cocok dengan sejarah hidupnya. Seorang anak yang terlahir tanpa bapak, dari rahim yang mengandung tanpa status pernikahan. Seperti juga ibunya, pamannya, bahkan neneknya. Maka apalah sebutan yang cocok bagi mereka? Anak-anak sundal atau anak-anak haram, mungkin terlalu kasar ketimbang menyebutnya sebagai anak jin atau anak setan yang sifatnya goib. Dipercaya ada namun tak bisa dibuktikan bahkan tak bisa dilihat keberadaannya.
Apa pun itu, Jun bukanlah Jin, meski bentuk fisiknya berbeda dengan manusia lain di sekitarnya, ia ada dan bisa dibuktikan keberadaannya. Meski banyak yang berkata bahwa bentuknya bagaikan peta-peta dunia. Afrika adalah rambut dan kulitnya, Amerika membentang di garis wajahnya, Jepang ada pada kelopak matanya. Beruntung, tinggi badannya bisa dikatakan normal-normal saja. Dan lidahnya, tentu saja lidah daerah. Ia lebih senang berkata dengan bahasa daerah dan tentu saja tak melupakan logatnya yang kental. Begitu pun makanan, lidahnya akan lebih berselera terhadap bumbu-bumbu lokal.
Perihal penampilannya yang sederhana, bahkan terkesan aneh, sebenarnya bukanlah tanpa sebab. Satu-satunya sebab tentu saja selalu berkaitan dengan ibunya. Gelang di tangannya, selalu dianggapnya sebagai simbol ikatan antara ibu dan anak. Sementara sweater yang melekat di tubuhnya, selalu dianggap sebagai simbol kemandiriannya. Kemandirian, saat ia tak lagi meminta uang jajan pada ibunya. Kemandirian, saat ia bisa membeli pakaian untuk pertama kalinya. Meski dengan cara menjadi mucikari bagi ibunya sendiri. Seperti yang pernah dilakukan ibu pada neneknya, nenek pada ibunya, paman pada ibunya, paman pada neneknya.