Kepatuhannya pada majikan, adalah sesuatu yang tak perlu diragukan. Dedikasi, begitulah dia menyebutnya. Sebutan yang kerap dikupingnya dari percakapan-percakapanp ekerja kantoran. Singgah begitu saja di kuping, masuk ke dalam kepala lalu menetap di dalam otaknya sebagai aturan.
Meski meruang sebagai bentuk yang tak terlihat, dedikasi bukanlah jin dalam botol yang hanya keluar jika digosok majikannya.
Jika pagi menjelang, ia menjelma sosok yang paling sigap. Matanya telah segar jauh sebelum ayam berkokok dan mengepakkan sayap. Segala macam keperluan dan kebiasaan tuannya ia persiapkan dengan sepenuh hati. Terlebih, jika terdengar kata-kata yang keluar dari mulut tuannya, tanpa berpikir panjang ia akan bertindak sesuai dengan ucapan tersebut.
Entah bagaimana mulanya ia bisa memaknai dedikasi sebagai kepatuhan dan aturan yang bersifat wajib. Yang jelas, ia tak lagi peduli kendati banyak celotehan yang menyebutnya bagai kerbau dicocok hidung.
Kenyataannya, segala sesuatu yang berkaitan dengan kepatuhan hanyalah kehendak pribadi. Tak ada sedikit pun perintah atau paksaan dari majikannya. Kehendak dan kepatuhan hanyalah ikatan yang dibuatnya sendiri.
Majikan, baginya tak sekadar atasan seperti pandangan kebanyakan orang. Majikan lebih dari dewi fortuna yang hanya memberikan keberuntungan. Lebih dari ayah dan ibu yang tak pernah ia tahu di mana keberadaannya. Lebih dari guru yang mencerahkan kehidupan. Bahkan, lebih dari hidup dan kehidupannya yang jauh dari kata mandiri.
~0~
Kabarnya, ia adalah anak yang dibuang oleh orang tuanya. Ia tahu hal itu dari orang yang telah mengasuh dan membesarkannya. Sejak bayi, ia telah biasa hidup di jalanan. Menangis, makan hingga tertidur di antara langkah kaki orang kota yang selalu terburu.
Pengetahuannya tentang hidup dan mempertahankan hidup, hanya sebatas bagaimana cara menengadahkan tangan demi satu atau beberapa keping uang logam. Tentu saja, semua yang didapatkan akan diberikan pada pengasuhnya.
Gelandangan, pengemis adalah sebutan yang biasa diterimanya. Predikat yang sama sekali tak ia pahami. Meski pun paham, apa yang bisa ia lakukan untuk mengubahnya?
Rindang pohon angsana yang berada tepat di gerbang pertokoan adalah persinggahan utamanya. Sementara tidur adalah hal yang selalu dinanti setiap jamnya. Maka, saat suasana telah sepi dan toko-toko sudah tertutup. Secara otomatis, ia akan mengarahkan langkahnya ke sana. Itu pun selalu dilakukan setelah semua toko tertutup.
~0~
Perpisahannya dengan pengasuh adalah hal terpenting yang mengubah segalanya. Matanya masih jelas merekam bagaimana peristiwa penangkapan pengasuhnya. Bahkan, telinganya masih mampu memindai bagaimana hiruk pikuk dan ketakutan yang terjadi. Terutama para pedagang kaki lima dan tukang beca berlari sambil meneriakkan, “Tibum! Tibum!” *)
Sebuah kata dan teriakan yang hanya dipahaminya sebagai ancaman bagi keselamatannya. Maka, tanpa pikir panjang, ia lari dan bersembunyi. Setidaknya, pelajaran itulah yang ia dapat dari pengasuhnya.
Dalam persembunyian, ia menyaksikan bagaimana seorang nenek renta diangkut ke atas truk. Dijejalkan bersama roda dan becak-becak. Nenek yang dilihatnya sama sekali tak berontak. Namun air mata yang mengalir di pipinya juga tunjukkan tangan ke satu arah, jelas menunjukkan jika ada sesuatu yang tertinggal atau membebaninya. Jika tak bisa dikatakan sebagai penolakkan.
Nyatanya, dialah beban yang dirasakan nenek tersebut. Dan ia hanya bisa menangisi kepergian pengasuhnya tersebut. Tangis yang juga selalu terjadi setiap ia mengenangnya.
Kehidupan jalanan, berpisah dari pengasuh sudah pasti merupakan kematian bagi anak seumurnya. Maka, hanya dalam hitungan jam saja, air matanya telah kering sekering kulitnya yang berwarna legam.
Menjelang petang, ia terdiam di sudut toko, tangisnya terhenti begitu saja. Tubuhnya yang telah lemas seolah tak mampu lagi memberi reaksi atas kehilangan dan perasaan lapar yang mendera, meski hanya meneteskan air mata.
Beruntung, nyawanya terselamatkan seorang pemilik toko yang mengenalnya.
~0~
Malam ini, air mata yang sama kembali menetes meski tak diiringi dengan tangisan histeris. Ia kembali mengalami peristiwa sama dalam situasi berbeda. Pemilik toko yang menjadi majikannya selama bertahun-tahun, meninggal dunia atas alasan entah. Tua dan sakit, mungkin menjadi alasan yang tepat untuk menjelaskannya.
Kematian yang sepi, tanpa sanak saudara itulah yang dirasakannya. Sebelum kehadirannya, tuannya memang hidup sebatang kara. Karenanya wajar jika ia kerap diperlakukan seperti anak. Namun demikian, ia tahu batasan dengan menganggapnya sebagai majikan.
Sebelum kematian itu dilihatnya, orang tua itu berpesan agar ia mengurus toko dan harta miliknya. Artinya ia menjadi ahli waris utama.
Dan senggal nafas terakhir yang berujung kematian, seketika menyinggung sudut pandangnya. Semua hal yang akan terjadi di masa yang akan datang, seolah terbuka di alam pikirannya. Bagaimana ia bisa bersikap seperti tuannya dengan keadaan dirinya yang seperti itu? Bagaimana ia bisa hidup sementara ia tak tahu bagaimana cara memenuhi kebutuhan hidup? Bagaimana juga ia bisa menundukkan tangan dengan segenap kerendahan hati seperti yang dilakukan tuannya?
Semua yang dipikirkannya seolah terjebak pada satu masalah. Atas segala kehidupan yang telah dijalaninya, ia sama sekali tak bisa berlaku seperti tuan. Menundukkan tangan selalu dirasanya lebih sulit dari sekadar menundukkan kepala dan menengadahkan tangan.
Bagaimana pun, ia tak akan bisa melepaskan diri dari bayang-bayang majikannya. Kemandirian, bukanlah jawaban atas kesendiriannya saat ini.
Beberapa jam berlalu dalam kekosongan. Hingga satu titik ia merasa paham, ikatan bukanlah sesuatu yang didasarkan atas kesepahaman atau perjanjian dua arah dan kesetaraan. Ikatan hanyalah sebentuk kehendak, keinginan yang sifatnya individual.
Maka, apa yang menjadikeinginan sang majikan agar ia menjadi ahli warisnya, hanya akan menjadi beban dalam hidupnya kelak. Ia terjebak pada ketakutan atas anggapan miring dari semua orang yang mengenalnya. Bukan tak mungkin, ia dianggap sebagai penyebab kematian majikannya. Anggapan yang menyesatkannya pada segenap ketakutan.
Anggapan yang juga membentuk pemikiran bahwa ikatan antara majikan dan bawahan tak akan bisa diubah, sekali puin ia menjadi ahli waris. Pemikiran yang juga menguatkan keinginan untuk tetap menjaga ikatan tersebut. Hingga sampai pada satu kesimpulan, ia memang tak akan mampu bertahan hidup tanpa majikannya.
Semua pemikiran, berakhir pada sebentuk kehendak. Satu dari tiga cara harus dipilih sebagai penyelesaian tanpa mengubah ikatan yang telah ada; pisau dapur, racun serangga atau tambang.
Dan ceceran darah di antara dua jenazah yang ditemukan setelah beberapa hari, kiranya menjadi petunjuk jelas perihal cara yang dipilihnya untuk menjaga ikatan. Majikan dan bawahan.
~O~
___hers, 102614
*) Tibum, petugas Ketertiban Umum, saat ini dikenal dengan istilah Satpol PP.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H