Sebagai pelukis, lanskap dan lekuk pegunungan yang berjejer di matanya adalah mahakarya. Binar mata Risti, benar-benar tersihir oleh panorama yang membuatnya takjub. Sesekali, ia mengusap kaca jendela kereta yang rabun tersebab uap napasnya. Ia tak rela jika pandangannya menjadi kabur. Benarlah kiranya ungkapan yang menyebutkan bahwa bahagia itu sederhana.
“Lihatlah!” telunjuknya mengarah ke jalan panjang yang baru saja dilintasi.
“Kenapa?” Yanto menyahut.
Nada lelaki itu memang biasa, namun kerut di keningnya menunjukkan ada yang tak biasa dari tanggapan tersebut. Ia memang tak tahu tapi ingin mencari tahu, apa yang sedang melintas di pikiran perempuan di sampingnya itu.
“Ahh! Kau melewatinya!”
“Apanya yang terlewat? Memang kenapa?”
Perempuan bergelang manik merah saga itu, lantas bercerita tentang isi lukisan alam anak TK atau SD. Punggungan gunung, sawah, mentari, awan, burung, rumah tua dan tentu saja jalan berliku yang berujung di kaki gunung. Lukisan yang juga berkaitan dengan impiannya. Ia kemudian menempatkan jalan yang dilihatnya itu pada lukisan yang sedang diceritakannya.
“Mirip bukan?”
“Apanya? Biasa saja!”
“Aku semakin percaya! Gambaran anak-anak yang seragam itu, memang diturunkan langsung oleh Tuhan.”
“Maksudmu, seperti wahyu?”