Semakin dalam memasuki ingatan dan pikiran, ia menyadari jika sendiri dan menyendiri memang kehidupan yang biasa baginya. Namun, sendiri di negeri antah berantah seperti ini, adalah hal yang tak bisa dianggap biasa. Tak ada lagi yang bisa dinikmati selain absurditas yang terangkum dalam judul paling picisan; menunggu. Ya, sekadar menunggu kapal atau perahu nelayan yang lewat dan berharap keberutungan bisa menyelamatkannya dari kesendirian. Atau menunggu keajaiban terbukanya portal waktu yang akan membawanya kembali pada dunia yang diingatnya.
Perlahan namun pasti, kesendirian telah berubah menjadi momok yang lebih menyiksa dari rasa lapar dan haus. Lebih menakutkan dari hujan, badai dan sambaran petir yang tak bisa ditolak kedatangannya. Lebih dingin dari tusukan angin malam pada tulang iganya yang semakin kerontang. Bahkan, lebih panas dari sengatan mentari yang selalu menyulut dan membakar emosinya. Dalam kondisi itu, usaha atau pun kesabaran kiranya hanya berbuah kesia-siaan, seperti halnya tragedi batu Sisypush.
Bunuh diri kankah menjadi tragedi akhir yang dialamatkan oleh rasa frustrasi terhadapnya? Tidak, semangatnya untuk hidup, masih lebih besar dari keputusasaannya. Kendati ia tak lagi tahu, harus berharap pada siapa atau pada apa.
Merasa semakin terpuruk dalam kesepian, air matanya berderai saat teringat bayangan orang tuanya, adiknya, saudaranya, kerabatnya, teman-temannya. Lebih jauh lagi, ia mengingat orang-orang yang bahkan memusuhi dan menjauhinya atau orang-orang yang tidak ingin didekatinya. Ada perasaan rindu yang aneh dalam dirinya. Kerinduan yang sama sekali berbeda dengan takaran sekadar ingin bertemu, bertatap muka dan bercakap-cakap. Kerinduan yang bahkan tak pernah ia rasakan dalam hidupnya.
Kerinduan, terasa semakin tajam menusuk-nusuk ulu hatinya. Serupa penyesalan, ia mulai menyalahkan diri sendiri yang dengan sengaja telah mengasingkan mereka dalam kesendiriannya.
Kiranya ia sadar, kesalahan terbesar dalam hidupnya adalah menyendiri. Mungkin, tragedi ini adalah kehendak Tuhan yang tiba-tiba mengabulkan keinginan dari  keputusannya untuk menyendiri. Atau serupa azab yang hanya diturunkan untuk dirinya sendiri yang dengan sengaja mempermainkan hidup dan kehidupan.
Dalam penyesalan yang paling dalam, Â ia berkata, "Maafkan aku Tuhan! Aku benar-benar lupa jika Kau menciptakan makhluk secara berpasang-pasangan dan berkelompok!"
***
hers,120516
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H