Nyatanya, Tuhan tak pernah salah dan tak mungkin disalahkan. Karenanya, tak ada yang lebih bersalah dari diri sendiri, lingkungan atau orang tuanya. Begitulah pembenaran yang diyakininya tanpa satu pun alasan yang kuat.
Satu-satunya alasan yang melatarbelakangi pembenaran terebut, hanyalah perilaku orang-orang yang telah menghakiminya, tanpa sedikit pun tahu masalah sebenarnya. Mungkinkah ini yang dinamakan solidaritas sosial, rekayasa sosial dan segala hal lain yang digerakan oleh kekuatan sosial? Â Kekuatan yang nyatanya semu, seperti halnya dia yang tak pernah tahu bagaimana hasrat menyimpangnya tiba-tiba saja muncul dan menggerakkannya. Maka, ia mulai mengutuk peradaban yang tak pernah sanggup mengikis hasrat-hasrat terpendam, termasuk kebiadaban.
Sayangnya, hidup adalah ironi. Peradaban yang dikutuk, malah semakin piawai menyudutkannya pada keterasingan dan perasaan bersalah.
***
~hers, 070516
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H