“Hei! Ayolah! Bukankah kau sudah janji akan menikmati perjalanan ini?” Senggolan lengannya, mencoba membangunkan Risti dari lamunan.
“Aku hanya lelah!”
Kilahnya tersebut, tentu saja menjadi hal yang kontras dengan keantusiasan yang baru saja ditunjukkan. Tak perlu bertanya mengapa atau ada apa, Yanto sangat tahu alasan di balik perubahan sikap tersebut. Tapi, ia bisa apa? Wanita sensitif yang dihadapinya ini, akan bertambah peka jika salah satu sisi sensitifnya tersentuh. Terlebih jika berhubungan dengan gelang manik yang digunakannya itu.
“Lihatlah gunung itu! tidak terlalu tinggi, tapi...”
“Itu bukit.” potongnya.
Nadanya memang ketus, namun Yanto merasa itu lebih baik daripada dijawab dengan sikap acuh. Itu artinya, ada harapan untuk menuju ke suasana yang lebih baik dari yang dihadapinya kini. Kendati ia pun tahu, apa yang diucapkannya kemudian, akan terus menjadi hal yang salah di mata Risti.
“Ya, bukit itu. Coba kau bayangkan, rumah sederhana, kolam ikan di halaman dan pemandangan yang indah. Bukankah cocok dengan mimpi kita?”
“Seperti kuburan!”
“Hei! Ayolah! Jangan kau rusak hari bahagia ini dengan masa lalu! Aku tahu itu pahit, tapi kau tak bisa terus-menerus mengikuti bayang-bayang.”
“Kau tak tahu dan tak mengerti! Tak akan mengerti!”
“Aku memang tak mengerti dan tak akan mengerti apa yang ada di jalan pikiranmu. Setidaknya, aku bisa merasakan apa yang kau rasakan! Ingat, aku ada saat itu! Aku minta, kuburlah masa lalu itu!”