Jakarta memang keras dan panas, namun keindahan budaya dan sosial yang ada didalamnya menjadikan suasana hati lebih hangat.  ~Unknown
    Jakarta seperti rumah tanpa pintu atau pelukan yang selalu terbuka untuk seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali dimanapun dan siapapun. Jakarta dengan budaya dan adat istiadat melakukan orang-orang dari luar Jakarta dengan sambutan hangat bak saudara kandung jauh yang baru bertemu. Orang-orang Betawi adalah penduduk asli Jakarta yang sudah menetap sejak lama sebelum bangsa Belanda menginjakkan kakinya di tanah Jakarta. Kehangatan orang Betawi ini membuat Jakarta menjadi kota yang terbuka dengan segala macam perbedaan budaya baik dari budaya luar (Globalisasi) atau dari budaya dalam (Urbanisasi).
    Kata Betawi berasal dari kata Batavia dan berubah menjadi Batawi serta akhirnya menjadi Betawi karena adanya penyesuaian dialek orang sekitar. Menariknya, walaupun suku Betawi adalah suku asli Jakarta, tetapi jumlah mereka lebih sedikit dibandingkan suku lainnya seperti suku Jawa di Jakarta atau dalam kata lain orang-orang Betawi menjadi minoritas dirumah mereka sendiri. Orang-orang Betawi juga tersebar dibeberapa wilayah, seperti Bogor, Depok, Karawang, Bekasi dan Tangerang. Hal inilah yang menjadi asal-muasal istilah Betawi udik, Betawi pinggir dan Betawi Tengah.
    Secara garis besar, para pakar bersepakat bahwa etnis Betawi merupakan etnis yang lahir atas percampuran berbagai macam suku bangsa, seperti Portugis, India, Cina, Arab, dan Belanda. Tak ayal jika kita melihat ciri fisik orang-orang Betawi, kita tidak akan menjumpai ciri khas dalam bagian fisik seperti rambut, hidung, warna kulit dan sebagainya. Hal tersebut disebabkan karena percampuran banyak kebudayaan-kebudayaan diatas yang membuat orang Betawi jika dalam istilah kekinian 'orangnya random-random banget.' Tetapi apabila kita melihat lebih teliti secara non fisik, ada keunikan dan keistimewaan dalam orang Betawi seperti cara berbicara mereka yang ceplas-ceplos, pandai mengaji, toleransi tinggi, serta jago bela diri.
    Secara statistik, Menurut hasil sensus BPS (Badan Pusat Statistik) jumlah penduduk di DKI Jakarta berjumlah 10,56 juta jiwa. Dengan 25,65% terdiri dari Gen Z dengan rentang usia 8-24 tahun atau dalam arti lain, Gen Z menempati posisi tertinggi kedua dalam proporsi demografi di Jakarta. Dengan jumlah tersebut, Penting sekali menciptakan ruang pendidikan dan ruang masyarakat untuk menanamkan budaya-budaya Betawi bagi para Gen Z agar budaya tersebut tidak termakan oleh globalisasi dan urbanisasi.
    Seperti pendapat salah-satu siswa yang bersekolah di Jakarta (Mochammad Sultan Al-Fatih), 'Peran pendidikan dan lingkungan sekitar memiliki peran yang penting terutama keluarga, karena keluarga menjadi awal dari dikenalkannya budaya. Lalu dilingkungan sekolah juga mengadakan festival budaya untuk memperkenalkan budaya pada generasi muda.'
    Keterbukaan Jakarta dalam globalisasi dan urbanisasi ibarat pisau bermata dua. Dimana, terdapat keuntungan juga ada ancaman terhadap eksistensi budaya Betawi itu sendiri Tanpa adanya penguatan pada Gen Z ini, mungkin 10-20 tahun lagi budaya Jakarta seperti lenong, Gambang Kromong, palang pintu, dan lainnya hanya akan jadi cerita dimasa lalu oleh anak dan cucu kita kedepannya.
    Pendapat tersebut juga dikuatkan dan dibenarkan oleh Gen Z Betawi (Ali Rali Jani), 'Kenapa budaya Betawi terancam punah? Karena yang mereka(anak-anak sekarang) tonton di gadget mereka adalah budaya luar bukan budaya Betawi itu sendiri. Hal tersebut terjadi karena budaya Betawi yang kurang menarik, Terbilang kuno, dan sudah kalah saing dengan budaya-budaya luar seperti budaya Korea. 'Karena perbedaan cara pendekatan dalam pembelajaran yang harus pelan-pelan, tetapi malah seperti dipaksa. Karena mendidik anak itu harus pada zamannya bukan zaman ayah-ibunya!' ucap Muhammad Isa Arrazi yang menjadi salah-satu narasumber.
    Dari sudut pandang penulis itu sendiri, Yang dalam hal ini merupakan orang Betawi asli serta lahir dan tumbuh besar di Jakarta mengakui bahwa ketertarikan dalam mempelajari budaya Betawi itu sendiri sangat minim, entah karena faktor globalisasi, lingkaran, atau zaman. Tetapi walaupun demikian, Kita tetap harus mempelajari minimal mengerti macam-macam budaya Betawi dan tidak melupakan hal terpenting lainnya, seperti adab, moral, dan cara bersosial orang-orang Betawi agar hal tersebut tetap terjaga dan terpelihara sampai anak dan cucu para Gen Z merasakan dan ikut memeliharanya.