Mohon tunggu...
Danu Respati
Danu Respati Mohon Tunggu... -

Menjalin cerita dari keseharian

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Stop Bersedekah di Lampu Merah, It is Really Unfair

13 Oktober 2013   15:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:35 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi itu saat bermalas-malasan satu SMS masuk. "Mas jadi ga bersih-bersih rumah, saya ga jadi nyetrika nih?" Pengirimnya Mbak Jumi, petugas cleaning service tempat saya kerja. Beberapa hari sebelumnya, saya memang pernah minta tolong Mbak Jumi buat bantu bersih-bersih rumah kalau lagi libur. Biasanya tiap Sabtu pagi atau Minggu pagi saya selalu sempetin beres-beres rumah sendiri. Tapi terkadang males juga ngurusin rumah segede ini. Bayangin aja beres-beres rumah 2 lantai bertipe 150an. Sekali dua kali masih biasa, lama-lama pegel juga. Untungnya ini rumah punya perusahaan, jadi stress saya bakal ilang kalo pindah ke kota lain.

Jadilah siang itu Mbak Jumi ke rumah buat nyapu ama ngepel rumah. Sebenernya sih lumayan kalau dikerjain sendiri buat aktivitas fisik dan memperpanjang umur. Kalau inget alasan ini sih jadi semangat ngerjain sendiri. Tapi ada hal lain yang jadi pertimbangan saya. Mbak Jumi ini orangnya rajin dan periang. Kalau di kantor ngebantunya tulus gitu sampai saya sering ga tega minta tolong macem-macem. Tapi minta tolong bersih-bersih rumah saya pikir lumayan buat tambahan penghasilannya. sDan satu hal lagi yang bikin saya salut, dia terlihat riang setiap harinya. Padahal perjalanan hidupnya ga pernah mudah. Setidaknya itu yang saya rasakan setelah ngobrol ma dia.

"Tinggal dimana MBak?"

"Oh saya di daerah Seraya Mas, arah ke pelabuhan". Segera terlintas di benak saya pemukiman liar dan padat penduduk.

"Sama keluarga ya Mbak". Saya tahu Mbak Jumi ini sudah cerai dengan suaminya.

"Iya Ibu saya tinggal di sana juga tapi beda rumah. Kalau Bapak saya di Malaysia seperti yang saya bilang ke Mas waktu itu". Seminggu sebelumnya waktu keluar makan siang saya ketemu Mbak Jumi lagi berdiri di depan Kantor Imigrasi. Katanya mau buat passpor karena ayahnya yang tinggal di Malaysia minta ditengok. Dia cerita dorangtuanya sudah lama cerai dan ayahnya menikah lagi sama orang Malaysia dan tinggal di sana.

"Oh ya saya inget. Trus di rumah tinggal sendiri gitu?"

"Nggak lah Mas. Kan ada anak saya dua orang".

"O pada sekolah dimana Mbak?"

"Yang besar sudah kerja Mas. Barus saja setelah lulus SMK kerja di desain grafis gitu".

"Lah anaknya umur berapa?" Aneh juga saya pikir anak Mbak Jum ini masih SD apa SMP gitu.

"Sudah umur 19 tahun Mas." Semakin aneh. Saya menduga MBak Jumi ini paling umurnya pertengahan 30an.

"Mbak Jumi emang umur berapa?"

"Saya sekarang 36 tahun Mas. Memang nikah cepet sih dulu umur 16 tahun".

Wow umur 16 tahun sudah menikah. Punya anak 2 dan ditinggal cerai sama suami yang katanya selingkuh dengan perempuan lain. Mantan suami menikah dengan selingkuhannya tapi kemudian cerai dan sekarang balik ke Jawa meninggalkan Mbak Jumi dan kedua anaknya sendiri. Tapi untungnya ada rumah yang bisa ditinggali.

Saya pun bertanya,"Mbak itu rumah di perkampungan apa perumahan gitu?"

"Oh itu ruli gitu Mas. Nanti kalau digusur ya pindah kemana gitu". Ruli atau rumah liar adalah rumah yang didirikan di tanah-tanah pemerintah dan sewaktu-waktu rawan kena gusur.

Saya trenyuh mendengarnya. What a sad life. Hebatnya saat cerita Mbak Jumi ini ga pernah terlihat mengiba-iba atau bersedih. Meskipun saya tahu pasti dalam sudut hatinya paling dalam, ada kesedihan yang disembunyikan. Mungkin kehidupan yang keras sejak lama telah membuat hatinya setegar karang. Meskipun ketegaran itu harus dibayar dengan kerja sebagai cleaning service dan mencari pekerjaan informal lainnya saat libur. Tak ada baginya hari libur.

"Kalau nggak bersih-bersih ya paling saya nyetrika gitu Mas. Harusnya hari ini saya nyetrika tempat lain tapi batal karena yang punya rumah sudah punya pembantu. Saya nggak bisa kalau harus dua hari sekali datang. Pulang kerja saja sudah malam. Kalau hari libur saya mau".

Mengharukan. Saya tahu bagaimana susahnya hidup karena saya dulu juga berjuang dengan susah payah. Pendidikanlah yang membuat saya dapat meraih apa yang saya dulu tidak punyai. Tapi melihat orang lain masih harus melakukan hal yang serupa rasanya menyedihkan. I am on the way right now but what about them?

Tapi bagaimanapun perjuangan seperti inilah yang seharusnya dilakukan, bukan sekedar menadahkan tangan di lampu merah untuk menerima sumbangan pengendara jalan. Juga bukan menempuh jalan pintas dengan berbuat kriminal nyolong atau jambret.

Saya sependapat dengan banyaknya BBM yang mengajak untuk tidak memberi sedekah buat peminta-minta yang segar bugar di lampu merah. Kalau melihat orang-orang yang pontang-panting bekerja keras demi menghidupi diri, rasanya  memberi peminta-minta di lampu merah adalah dosa besar yang penuh ketidakadilan. Lebih baik memberikan upah yang lebih layak pada para pekerja keras seperti Mbak Jumi, atau memberi bantuan pendidikan pada anak mereka. Memberikan jalan bagi mereka untuk bekerja mendapatkan kehidupan layak juga akan lebih berarti. So guys, just stop giving the beggar your money. They have no rights to take your charity.  Bahkan penghasilan mereka seringkali lebih gede dari para pekerja keras. Hidup yang sangat tidak adil. Berkontribusilah untuk membetulkannya dengan berhenti memberi pada peminta-minta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun