Karena cinta tak harus memandang status
Ketika matahari muncul tenggelam dengan rasa takut di ambang waktu, sosok pemuda masih membalut tubuhnya dengan selimut tanpa mantra-mantra semua orang akan menutup hidung dengan suka rela, apa lagi ketika Mak Jaroh menjemur selimut itu. Terkadang Mak Jaroh juga tak habis pikir dengan kelakuan anak bujangnya .Suka membuat peta di selimut yang ia dapat sebagai hadiah sunatan sepuluh tahu silam.
“Udiiin...” nyanyian tanpa nada rendah itu senantiasa terdengar sampai kelurahan sebelah. Napasnya terengah-engah, mata yang membulat besarUdin beranjak dari tidur panjangnya. Tidur panjang pemuda berambut ikal dengan sedikit poni menutupi jidat itu bertualang mengarungi bahtera hutan, gunung, lembah-lembah. Di lembah itu ia merayap-rayap sampai jongosnya bertemu dengan jongos kodok berkelamin betina.
Mata bulatnya mencari sesuatu yang biasa tergantung di dinding. “What!!!” udin melompat ketika mendapati pagi sudah menunjukkan pukul tujuh lewat lima menit. Tanpa menunggu ledakan pistol layaknya atlit lari di ajang Olympiyade pemuda ramping itu berlari menuju kamar mandi.Sikat gigi lalu cuci muka Udin kembali ke kamar untuk mengenakan seragam sekolah.
Udin berjalan setenggah berlari, lalu menyeruput kopi hitam yang terletak di atas meja makan, butiran ampas kopi berwarna hitam nyelip di sela-sela giginya. Sepatu sudah di pasang, Udin kemudian mencegat angkot di pinggir jalan.
“SMA 17, Bang.” ucap Udin pada sopir.
“Dari dulu ini angkot jurusannya SMA 17, Din.” Jawab sopir angkot, tak lupa langsung mengatur gigi dan langsung tancap gas.
Angkot melaju pelan mengiringi hati sopir yang sedang galau karena belum dapat secangkir kopi dari sang istri tercinta. Lima menit kemudian, Udin memintasopir menghentikan laju angkot yang sudah beroperasi sejak tahun 1998 itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H