Dengan bangganya Udin menurunkan kaki layaknya pangeran arab turun dari mobil mewah dan langsung di sambut oleh karpet merah. Namun nyantanya yang turun bukan sepatu hitam mengkilat bila terkena cahaya, melainkan sepatu lusuh belum di cuci selama sebulan.
Mak Jaroh sudah lepas tanggan soal sepatu anaknya itu, pernah suatu pagi Mak Jaroh punya niat baik untuk mencucikan sepatu Udin, namun ketika sepatu itu di jinjing layaknya anak kucing buduk menuju singgahsana sumur. Mak Jaroh harus pake masker tujuh lapis, belum lagi tingkah laku burung-burung merpati yang biasa nangkring di atas atap rumah tunggang langgang berlari penuh ancaman terbius aroma sepatu beracun.
Udin berjalan di koridor sekolahnya, langkah pemuda itu pelan layaknya artis Korea yang sedang booming di anak-anak seusianya. Semua pelajar di sekitar koridor itu perpesona melihat penampilan Udin, mereka terpesona sambil memegang gagang pel lantai.
“Udiiin...” nyanyian tanpa nada rendah pun kembali terdengar, tapi bukan dari emak tercinta melainkan dari Suci, cewek paling imut sejagad persekolahan. Cewek imut itu mengecak pinggang sembari matanya menatap tajam Udin yang cengar-cengir karena salah faham.
“Napa beb?”
“Bab, beb, bab, beb kepala elu penyok!” Suci kembali memfokuskan pandangannya.
Udin masih belum mengerti, ia mengatur wajahnya semanis mungkin. “Lah terus napa lu panggil namaku sampai jerat-jerit gitu?”
“Sepatumu itu nginjak lantai baru di pel, Oon.”
“Oo...baru di pel ya, heh maaf.”
“Enak aja minta maaf, nih kain pel sekarang gantian kamu yang ngepel.” ucap Suci sembari menyodorkan gagang pel, Udin benggong.
* * *
Bel tanda masuk kelas sudah terdengar di penjuru SMA 17, Udin yang baru saja selasai ngepel lantai koridor sekolahan itu langsung buru-buru masuk kelas.