Mohon tunggu...
aris moza
aris moza Mohon Tunggu... Guru - menekuni dunia pendidikan sebab aku percaya dari sanalah mulanya segala keberhasilan itu bermula

seorang yang lantang lantung mencari arti dan makna dalam setiap langkah kecilnya. lalu bermimpi menjadi orang yang dikenal melalui karya-karyanya, bukan rupa, bukan harta, bukan panggkat atau jabatan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Membela Poperti Tuhan

5 Agustus 2017   13:44 Diperbarui: 5 Agustus 2017   15:44 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ampli itu sudah di wakafkan untuk Tuhan di gunakan sebagai alat bantu menyeru adzan di tiap-tiap rumah ibadah. Tak ayal apapun yg bersangkutan dengan Tuhan akan selalu menyedot emosi yg begitu tinggi. Tentu hal wajar kita membutuhkan Tuhan, kita mahluk yg percaya  kekuasaan Tuhan. Maka membelanya adalah mutlak sebuah keniscayaan  meskipun Tuhan pun tidak minta di bela, paling tidak kita menunjukan  diri bahwa kita berpihak menjalankan printah Tuhan.

Begitu kira-kira yang terpikir oleh setiap manusia, maka wajar ada  banyak aksi masa yang melakukan pembelaan terhadap Tuhan, ketika Tuhan  dalam bentuk simbol-simbol itu di lecehkan, ia simbolnya. Karena Tuhan  bagaimanapun tidak bisa di lecehkan atau di hina adapun yg menghina itu  hanya sebatas menghina simbol-simbol agama.

Ampli adalah simbol  ketika fungsinya untuk agama. Maka menjadi bagian agama. Merusaknya apa  lagi mencuri jelas telah menista agama. Maka wajar kasus tuduhan  pencurian ampli mushola di bekasi harus sampai menghilangkan nyawa  korban dan dengan sangat keji. Ia mereka sedang membela Agama,  menghakimi manusia yang di tuduh telah menista agama. Adalah perbuatan  mulia bagian dari jihad pikirnya begitu.

 Maka wajar kasus di Jkt dulu menyedot 7 juta manusia untuk berkumpul, sebab kasusnya sama menista. 

 Sayangnya setiap aksi yang dilakukan mengatasnamakan Tuhan sering kali  di landasi sikap emosional terlenih dahulu tanpa melakukan Tabayun, satu  kata yang nampaknya hanya berakhir sebagai selogan semata.
Padahal  itu sangat penting. Maka wajar bila kasus di bekasi menjadi pukulan  telak bagi mereka para pembela Tuhan yang mengedepankan emosional,  menghakimi sendiri dan membunuh manusia. 

 Lalu ketika semua telah  terjadi apakah ini bagian dari ijtihad dimana benar mendapat 2 pahala,  seandainya salah mendapat 1 pahala. Meski telah menghilangkan nyawa,  menjadikan istrinya janda anaknya menjadi yatim. Atau manusianya yang  terlalu jongkok memahami esensi perintah Tuhan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun