Mohon tunggu...
arie hananti
arie hananti Mohon Tunggu... Guru - seorang istri, ibu dan guru

seorang istri , guru dan ibu dari satu orang anak laki laki

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Ramadanku, Si Cilik yang Licik

19 April 2021   04:48 Diperbarui: 19 April 2021   05:00 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat mulai mengorek kenangan masa kecil tentang ramadhan, rasanya seperti baru saja terjadi kemarin. Seragam merah putih dan rambut yang selalu terkuncir masih sangat lekat dalam ingatan. Aku dan teman teman memiliki banyak kenangan indah sekaligus menggelikan tentang ramadhan, mulai dari tarawih bersama yang diakhiri dengan jajan dan bermain sampai di pelototi petugas masjid atau pura-pura masih puasa padahal sudah jajan di sekolah karena tergoda traktiran teman hehehe

Masa kecilku tidak lepas dari main main dan main. Bagiku bangku sekolah adalah kesempatan memiliki teman sebanyak-banyak. Sepertinya aku lebih ingat peristiwa saat bermain dengan teman daripada ilmu yang aku dapatkan hohoho ... mohon dimaafkan ya Bapak Ibu guruku yang dulu. Dan sekarang akupun jadi guru, barulah terasa menangani anak tipe persis seperti aku, mungkin ini yang disebut memetik panen dari menanam benih di masa lalu. 

Salah satu kisah yang sangat ku ingat adalah saat aku duduk di bangku kelas 4 SD. Ramadhan ditahun 1983 cuacanya sangat panas. Aku sekolah di SD negeri yang tidak jauh dari rumah.  Tiap hari aku pulang dan pergi jalan kaki. Satu hari di bulan Ramadhan itu, salah satu sahabatku yang bernama Yuli, mengajakku keluar ketika istirahat, padahal saat itu aku masih puasa. Aku pun menyambut ajakan sahabat sekaligus tetangga depan rumah. 

Aku fikir dia mau mengajak main, tapi dia malah berjalan ke tukang jajanan yang walaupun ramadhan, tapi tetap berjualan seperti biasa. Kami melewati beberapa tukang jajanan yang sangat menggoda iman, mulai dari empek-empek, es serut, bubur ayam. Namun godaan paling berat adalah saat melewati abang penjual es serut, bunyi serutan es balok yang begitu merdu, kres kres kres ... di tutup dengan toping warna warni sirop yang mencolok sungguh sangat menggetar jiwa seorang bocah yang sedang berpuasa. 

Tiba-tiba temanku menawarkan diri untuk mentraktir. "Rie, beli es yuk, nanti gue bayarin deh," kata Yuli dengan ekspresi datar. "Tapi kan kita lagi puasa, emang ga pa-pa ?", tanyaku. "Oh kalau gue sih bebas, soalnya ibu gue kan kerja jadi ga papa kalau mau buka, udah buka aja entar puasa lagi," bujuknya. " Humm ya udah deh. Tapi lo jangan ngadu sama nyokap gue ya," duh, sungguh kelicikan aku kecil, muncul entah darimana asalnya. "Iya iya gue janji," kata temanku sambil mengulurkan jari kelingkingnya, simbol khas anak jaman itu ketika berjanji pada temannya. 

Dengan ragu aku sambut jari kelingkingnya. Singkat kata meski ada keraguan, toh tenggoraan kecil nan kering itu akhirnya merasakan manisnya es serut, bibir pun jadi warna warni sesuai dengan sirop dari es serut. Tak habis akal supaya tidak ketahuan kami segera ke toilet dan mencuci mulut dengan air keran supaya warna itu hilang.  Ada ada saja akalnya.

Belum selesai sampai disana, ketika mau pulang, masih bersama sahabat buka puasa di sekolah tadi, aku masih memikirkan cara bagaimana supaya tidak ketahuan kalau sudah tidak puasa. Akhirnya aku memberikan ide ajaib yang wajib temanku juga lakukan. "Eh Yuli, gimana kalau kita pulang lari, terus pas sampai rumah bibirnya kita lap sampai kering, terus kita pura-pura lemes dan ngos-ngosan, jadi ibu gue ga tau ?", usulku sambil membayangkan betapa mengerikannya jika sampai ketahuan Ibu aku buka puasa diam diam. "Iya boleh yok", jawabnya. Kami pun langsung lari dan berusaha untuk berkeringat sampai tiba dirumah. Begitu tiba dirumah, akupun mulai berakting saat melihat Ibu di depan pintu, sambil berseru lirih "haduh haus haus", berharap Ibu akan percaya hehehe. Teryata berhasil, Ibu tidak bertanya apapun sampai magrib tiba. 

Bagi saya ini adalah pengalaman memalukan yang tak terlupakan. Dan untuk setiap peristiwa yang  pernah terjadi adalah sebuah proses alami dalam memahami makna puasa pada masa itu. Sekaligus mengingatkan diri ini bahwa kita adalah manusia biasa yang memiliki masa lalu dan tak pantas bersombong hati. Jika saat ini kita sudah memahami makna puasa dan benar benar mensyukuri bulan ramadhan dengan penuh ikhlas dan suka cita, bukan berarti kita bisa memandang hina kepada saudara saudara yang beragama Islam namun belum tergerak untuk menunaikan ibadah wajib puasa. Justru kita wajib mendoakan dan mengingatkan. Tentunya dengan bahasa yang dapat diterima oleh mereka. 

Bahwa ramadhan adalah rahmat, ampunan dan pembebasan api neraka adalah kita yang wajib untuk menyiarkannya dan menyentuh semua lapisan agar mau melaksanakan puasa ramadhan dengan gembira dan memahami makna didalamnya. Bukan karena kita paling benar tapi karena kita pernah di posisi yang sama dan juga karena Ramadhan adalah bulan kasih sayang, maka hendaknya menyampaikan pesan ramadhan pun dengan kasih sayang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun