Mohon tunggu...
Anggarian Andisetya
Anggarian Andisetya Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa, sosok yang belajar menjadi dewasa di tengah-tengah dunia yang (tidak) semakin dewasa\r\n\r\nBerkediaman di Dunia Maya @ Jejak-SangManyar.Blogspot.Com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Dilematika Kaum Dermawan dan Orang-Orang Buntung di Jalanan

23 Desember 2011   18:54 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:50 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah mendengar khotib berkhotbah: "Jangan kita mendermakan uang kita pada anak-anak di jalanan"? Atau, kaum akademisi menyerukan hal serupa, namun dengan tutur dan retorika yang berbeda? Menurut Anda, benarkah himbauan mereka? Jujur saja, saya tidak setuju.

Kaya-miskin. Berkelebihan-berkekurangan. Suatu harmoni dalam hidup manusia yang harus kita syukuri sekaligus pula harus kita renungi. Ketika orang-orang kaya menghabiskan waktu senggang mereka dengan berlibur ke Singapura (paling apes, bagi mereka, adalah Bali), orang-orang yang lemah secara finansial menghabiskan waktu-waktu potensial mereka di jalanan: mengemis.

Dimanapun kita berada, kelompok manusia satu ini tidak mungkin tidak kita temui. Malang, kota tempat saya melanjutkan pendidikan saat ini, cukup mengejutkan dengan merebaknya jumlah peminta-minta di jalanan. Apapun bentuknya: pengamen, pengemis konvensional (dengan gelas air mineral duduk menunggu di suatu sudut jalan), hingga pengemis ala sinedrama: membawa kardus dengan tulisan besar-besar "Tolong Nenek Saya Butuh Uang Untuk Operasi", dan sebagainya.

Yang lebih menyedihkan, anak-anak masih menjadi obyek eksploitasi ekonomi yang efektif. Tengok saja! Dimana ada pengemis hampir dapat dipastikan mereka membawa anak-anak. Ada pula yang dijajarkan di pertigaan, perempatan, bahkan dari blok pertokoan satu ke pertokoan lain untuk mengisi pundi-pundi ekonomi orang tua mereka (atau oknum-oknum tertentu). Situasi ini menjadi amat membuat kita marah ketika negara sebagai subyek yang bertanggung jawab atas nasib warga negaranya justru lari dari tanggung jawab. Pasal 34 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Fakir Miskin dan Anak-Anak yang Terlantar Dipelihara oleh Negara. Negara yang mana? Kenyataan normatif ini kontradiksi ketika bersinggungan dengan keadaan di dunia nyata. Tak peduli hujan, tak peduli panas mereka tetap meminta-minta, bahkan dengan mengabaikan keselamatan mereka sendiri. Sekilas, kita harus menyalahkan orang tua mereka yang "tidak berperikemanusiaan" menjadikan anak mereka sebagai obyek mata pencaharian. Namun, sedangkal itukah?

Situasi ini, jujur, dapat diatasi apabila negara konsisten dalam memenuhi amanat yang telah diciptakannya. Keadaan ini terjadi karena suksesi selama beberapa periode menciptakan gelombang anomali politik kesejahteraan kita. Haluan sebagai negara yang menentramkan, berubah menjadi mengancam begitu Orde Baru memimpin. Ketika masa kebangkitan datang pasca tahun 1998, kita dibawa ke arah yang "lebih baik lagi." Masa Tanpa Kepastian.

Jujur, saya baru interest pada perkembangan politik sejak tumbangnya Gus Dur dan Megawati tampil di pentas singgahsana. Di situ saya melihat arah perkembangan negara kita yang mencoba mencari jati diri yang baik setelah 32 tahun dalam keapatisan. Makin ke depan, situasi tampak tidak menguntungkan. Rentetan kebobrokan sepertinya menjadi bahala setelah kekafiran selama 32 tahun. Tahun 2004, Tsunami Aceh menjadi pintu ketakjuban saya bahwa negara kita dalam masalah selama beberapa tahun ke depan. Terbukti. Ujian demi ujian sepertinya tidak selesai-selesai melanda. Situasi ini dipelikkan lagi dengan degradasi hukum, politik, dan sosial di masyarakat dimana makin berkecamuknya aksi-aksi sepihak yang menodai kedamaian di negara berslogan Bhinneka Tunggal Ika ini. Kini, kita semakin sadar: ada yang keliru dengan kita selama ini. Dan kita tak juga mau berbenah.

Kembali ke awal. Kaitannya dengan judul di atas apa? Yap. Korelasi yang akan digambarkan oleh penulis adalah hubungan substitutif. Ketika nasi tidak ada, kita akan berpindah pada jagung, ketela, sagu, dan bahan-bahan pangan lain. Jika ibu kita tak ada uang untuk jajan kita sehari-hari, pasti kita merengek pada nenek untuk meminta uang seribu saja untuk membeli permen di kantin sekolah. Artinya, negara tidak bisa menyediakan kesejahteraan bagi kelompok underground, maka mereka pun mencoba mencari dari pihak lain, yaitu masyarakat berpunya. Hal inilah yang menjadi kunci utama persoalan kemiskinan dan cendawan-cendawan jalanan yang bernama pengemis di sekitar kita. Jika negara tidak mampu memenuhi hajat hidup mereka, salahkah mereka mencari sumber pendapatan lain, sekalipun mengurangi jatah kehormatan yang mereka miliki?

Negara bertindak tidak adil ketika menciptakan razia-razia gepeng, gelandangan, dan pengamen tanpa kemudian menyediakan jalan keluar yang solutif dan efektif-efisien. Kursus singkat di balai perlindungan sosial hanya menjadi pengetahuan karena mereka gagal bersaing ketika bertempur di dunia asing bernama pasar. Kecakapan yang cethek dan bekal ketrampilan yang apa adanya memaksa mereka kembali ke jalanan: mengemis. Ibarat mengusai panu bukan dengan salep, tapi bubuk bedak: ditutup rata lalu akan hilang begitu berkeringat. Begitulah sistem manajerial orang-orang miskin di negeri kita.

Hanya itu? Tidak. Parahnya lagi, akses bagi masyarakat miskin terganjal dalam multisektor. Simak yang paling tegas adalah kesehatan dan pendidikan. Ramai diberitakan orang miskin ditolak melahirkan di rumah sakit karena tidak ada biaya atau ijazah ditahan karena tidak membayar uang rekreasi dimana sang siswa memang tidak ikut rekreasi. Fenomena diskrimatif semacam ini menjadi suatu derita yang mendalam bagi kita. Tidak lebih burukkah ini daripada era kolonial?

Kemudian yang tidak kalah parah, ada aturan mengenai orang kaya dilarang mendermakan uangnya di jalan, kepada pengemis di jalan. Lucu, menurut saya. Ketika negara menutup akses mereka untuk sejahtera, kran mencari penghasilan dari meminta-minta pun turut dibredel. Sementara, akses lain untuk memperbaiki nasib seperti lapangan tenaga kerja dan perlindungan hak memperoleh pendidikan yang sama kandas dengan alasan negara tidak punya biaya. Apakah hal ini tidak membunuh kaum pinggiran namanya?

Mereka dipaksa menjadi kuli, menjadi "budak" kapitalisme dengan konsep Darwinisme modern: Siapa kaya dia menang. Siapa pontensial dia yang kekal. Siapa yang punya dialah raja. Bagaimana yang tidak memenuhi kriteria? Hangus ditelan kebengisan negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun