Tulisan saya tidak bermaksud untuk menyudahi ulasan-ulasan kita mengenai agama dan tradisi ritual di dalamnya, melainkan lebih pada penegasan, atau lebih nyaman disebut saran, untuk menghentikan diskusi-diskusi ala rodeo tentang otentisitas suatu agama yang kemudian dibombastiskan dalam jejaring-jejaring sosial, termasuk grup dari media online kita ini, Kompasiana.com. Dalam grup media online ini di situs jejaring sosial Facebook, cukup disayangkan administrator grup cenderung acuh dengan upaya-upaya penajaman konflik SARA dalam posting-posting anggota atau member dari grup Kompasiana. Bahkan, dalam jejaring citizen jurnalistic Kompasiana.com ini pun sempat saya temui fenomena tak patut tersebut. Kemudian, terbetik pertanyaan di hati saya: Emang nggak ada topik lain ya selain berdebat soal agama?
Usut punya usut, pikir dipikir-pikir, sampai saya pada sebuah kesimpulan bahwa fenomena "ganjil dan memalukan" semacam itu lahir karena adanya suatu keengganan kita untuk ikut berperan, ambil suara terhadap isu-isu non-religius di sekitar kita. Kemudian, timbul pertanyaan: mengapa? Jawabnya beragam.
Pertama, menurut saya, merebaknya diskusi tentang agama yang tidak sehat dewasa ini disebabkan upaya-upaya pihak tertentu yang berkeinginan menjadikan masyarakat menjadi apatis terhadap isu-isu nasional. Harus kita akui bahwa kita jauh lebih marah ketik agama kita, misal Islam, diperolok oleh umat agama lain ketimbang seorang bupati yang mencuri hak masyarakatnya sekian miliar. Hal ini tidak lepas dari ikatan religius kita yang kuat sehingga mudah dipermainkan oleh oknum-oknum bayangan. Penulis tidak mengatakan kemudian untuk mempertipis kadar keagamaan kita, melainkan pada suatu kritik bahwasanya: ada hal-hal lain yang lebih tepat untuk diperdebatkan serta ada cara lain yang lebih baik daripada menenggelamkan diri terhadap isu spektakuler semacam itu. Bukan suatu pilihan sikap yang bijaksana ketika orang menjustifikasi negatif kita dan kita membalas spontan dengan cara yang sama karena hal tersebut akan melabelkan hal yang sama pada diri kita, yaitu serupa dengan mereka.
Kedua, ketidakpastian ujung permasalahn isu-isu terkini menjadikan masyarakat cukup enggan memberikan komentar secara masif. Contoh, belum habis isu penangkapan Nunun, kita diberondong kegaduhan soal Mesuji. Atau yang sedikit kurang esensial adalah isu akan berpindahnya kader Partai Demokrat Ruhut Sitompul akibat ketidaksejalanan dengan beberapa elit politik di partai berwarna biru langit tersebut. Masyarakat kemudian seolah-olah ditimpuk dengan segudang persoalan yang pelik dan kompleks saking banyaknya kasus dan skandal yang mereka temui. Kejenuhan ini kemudian menjadikan mereka lari kepada topik-topik bahasan yang kurang cerdas dan cenderung debat kusir. Alhasil, umat mayoritas mendapat stereotype yang buruk kemudian karena mereka mendominasi dalam percakapan melawan pihak pemublikasi tulisan.
Ketiga, situasi ini terjadi karena memang ada suatu pembiaran dari pihak pengelola. Alasan pasti pengacuhan ini tidak dapat saya pastikan, namun ada indikasi bahwa keadaan ini disebabkan oleh: 1) upaya pengelola membiarkan para anggota saling berdiskusi tanpa intervensi dan sebagai wujud kebebasan berpendapat, dan 2) kekurangan dalam hal manajemen dan kontrol publikasi tulisan. Pokok bahasan berikutnya pada alasan pertama. Mengenai keleluasaan berdiskusi dan wujud konkrit daripada kebebasan berpendapat, merupakan suatu implementasi yang keliru kemudian ketika diskusi yang berjalan semrawut tetap dibiarkan berjalan dengan menciptakan ketidaksehatan di sana. Penyakit harus dimusnahkan begitu indikasi pertama muncul. Bagaimana mungkin seorang dokter membiarkan pasiennya dalam keadaan koma untuk kemudian baru dicarikan jalan keluar? Inilah yang terjadi pada jejaring-jejaring sosial kita.
Topik-topik diskusi keagamaan, terutama yang menggunjingkan akidah, kepercayaan, ritus peribadatan, dan komponen-komponen agama lainnya, menjadi suatu sumber ketidakfaedahan dalam pendewasaan masyarakat modern. Cyberbullying melalui komentar-komentar kasar yang tidak mendidik menjadi suatu pembenihan bagi hilangnya nilai-nilai moral dan kesantunan. Benih ini nantinya akan tumbuh menjadi karakter dalam pribadi kita. Menjadikan kita sebagai makhluk yang rasis, bengis, dan tidak lagi rasional karena lebih peka pada tuntunan-tuntunan emosionalitas.
Oleh karena itu, tidak salah rasanya jika penulis menegaskan untuk segera kita hentikan pembicaraan-pembicaraan yang tidak perlu mengenai aspek-aspek agama umat lain yang cenderung tidak mencerdaskan, radikal, dan membaksil dalam tatanan kehidupan ke-bhineka tunggal ika-an kita. Kita membutuhkan kajian-kajian teoritis dan empiris yang lebih bersahaja dan berguna daripada mendebat soal asal-usul Tuhan, kebenaran konsep monotheisme atau politheisme, atau lebih teknis mendebat soal wajib atau sunnahnya membaca Qunut dalam Shalat Subuh yang menjadikan umat Islam sendiri justru terbelah-belah dan tercacah-cacah.
Negara kita, saat ini, jauh lebih membutuhkan sumbang suara mengenai perbaikan nasib perekonomian kita yang semakin kapitalis atau keberlangsungan pendidikan masyarakat miskin yang menjadi semakin miris.
Negara kita jauh lebih membutuhkan teori dan pendekatan yang mutakhir soal bagaimana mengatasi banjir di Jakarta atau mencegah perbatasan kita dirongrong oleh negara tetangga daripada membedah dan menyobek-nyobek sisi kebenaran agama lain, yang parahnya dianut sebagian saudara sebangsa kita sendiri, untuk kemudian ditinggalkan dengan kementahan, kemarahan, kekecawaan, tanpa ujung penyelesaian yang mendamaikan dan meluruskan.
Negara kita jauh lebih membutuhkan tulisan-tulisan inspiratif tentang ring of fire yang mengancam keselamatan kita semua sepuluh, dua puluh, seratus, sejuta tahun yang akan datang. Atau pengelolaan hasil bumi rahmat Tuhan melalui ring of fire pula yang terkandung dalam bumi pertiwi kita-Indonesia.
Negara kita jauh lebih membutuhkan andil generasi muda untuk "mengkudeta" generasi tua dengan ideologi korupnya yang terbukti ampuh menyebabkan kutukan kemiskinan dan pengangguran pada kita selama berpuluh-puluh tahun. Situasi ini tidak akan pernah tercapai apabila, generasi muda khususnya, lebih menciptakan kenyamanan diri mereka dalam ruang-ruang diskusi publik tentang keagamaan yang tidak sehat. Keadaan ini harus kita bedah dan kita bongkar. Caranya? Stop give your comment on religion posting! Dimanapun, kapanpun, pada siapapun. Umur kita (sangat) terbatas untuk terbenam dalam persoalan-persoalan menggelikan semacam itu. Dan hal itu pula yang saya coba lakukan.
Referensi: Awas Cyberbullying dan "Sexting" Ancam Anak Anda, Terjebak di Antara Sekawanan Atheis, dan Yahoo! Answer
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H