Mohon tunggu...
Jefry Go
Jefry Go Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Learning by Reading & Learning by Writing

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mendamba PNS Berkualitas

18 Maret 2015   15:08 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:28 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1426665906881335384

[caption id="attachment_403739" align="aligncenter" width="600" caption="ilustrasi (sumber: jowonews.com)"][/caption]

Jika ditanya kata apa yang pertama kali terlintas di benak kala mendengar kata “Pegawai Negeri Sipil (PNS)”, mungkin mayoritas jawabannya adalah: malas, kerja santai, korupsi. Amat disayangkan, karena begitu banyak image negatif yang melekat pada status PNS. Hal tersebut terjadi bukan dalam sekejap, melainkan telah melalui proses panjang selama puluhan tahun.

Kita tentu tidak bisa menyalahkan justifikasi masyarakat terhadap citra PNS. Semua terjadi dilandasi hukum sebab-akibat. Ada asap pasti ada api. Harus diakui, tradisi “sesat” PNS pernah berlaku pada rezim pemerintahan sebelum-sebelumnya. Suatu masa dimana sorotan media belum cukup tajam menembus “tirai besi” belenggu tirani. Berbeda dengan sekarang, bagaimana media mampu menjalankan fungsi kritisi terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai melenceng. Kendati demikian, kondisi tersebut tidak serta-merta meniadakan praktik curang oknum abdi negara.

Di sisi lain, upaya generalisir citra negatif terhadap semua PNS tidak bisa dibenarkan. Pasalnya, di luar sana juga ada abdi negara yang benar-benar mendedikasikan dirinya bagi bangsa ini dibawah naungan integritas. Poin itu haram untuk diabaikan begitu saja.

Kenyataan pahit akibat “tradisi” yang dilakukan bertahun-tahun harus ditanggung oleh PNS generasi masa kini. Selain rasa bangga, ternyata ada sekelumit beban dibalik seragam coklat yang dikenakan PNS muda. Baru terjun ke dunia birokrasi, mereka sudah dihadapkan oleh stigma kurang mengenakkan dari masyarakat.

Pengalaman nyata pernah saya alami. Pada suatu kesempatan, saya bereuni dengan kawan-kawan SMA dalam sebuah pertandingan futsal. Karena lama tidak bersua, kami saling menanyakan kabar dan pekerjaan yang kini tengah digeluti. Saat tiba giliran saya mengatakan bahwa saya sebagai PNS di pemerintah kota, tiba-tiba terdengar celetukan yang hingga kini masih membekas jelas di memori: “PNS? Wah enak ya, kerja santai,” ujar salah satu teman saya.

Detik itu pula, pertentangan dalam batin langsung menyeruak. Saya berpikir: “Santai??? Dimana santainya?”. Sebagai salah seorang PNS muda yang mengawali karir pada 2011, saya sama sekali tidak merasakan santai yang dimaksud kawan saya tadi. Bahkan, di tempat saya bekerja, yang terasa adalah penumpukan beban kerja. Hal itu disebabkan ketidakseimbangan jumlah pegawai yang pensiun dengan penerimaan calon PNS baru. Setiap tahun, rata-rata PNS yang memasuki masa purnatugas mencapai ribuan, sementara jalur penerimaan CPNS paling banter hanya ratusan. Belum lagi, pemerintah pusat tercatat beberapa kali melakukan moratorium penerimaan CPNS.

Penyebab Jebloknya Image PNS di Mata Publik

Buruknya penilaian publik terhadap PNS menyisakan sekelumit tanda tanya. Kira-kira apa yang menjadi penyebab jenis mata pencaharian tersebut tak kunjung mentas dari jurang stigma negatif. Terkait problem tersebut, saya mencoba memetakan sejumlah penyebabnya. Diantaranya sebagai berikut:

1.PNS belum Menjadi Pekerjaan First Class

Ketika kita mendambakan suatu kualitas dari sebuah pekerjaan, maka pertama-tama yang harus ditempuh adalah menjadikan pekerjaan tersebut memiliki kehormatan di mata masyarakat. Artinya adalah, bagaimana menjadikan PNS sebagai pekerjaan utama yang dicita-citakan sejak kecil. Bukan pekerjaan yang sifatnya “karena saya tidak diterima di perusahaan A, atau tidak kunjung mendapat pekerjaan, ya sudah saya mencoba mengikuti tes CPNS. Dan, eh…. berhasil. Ya sudah jalani saja”.

Sebagai gambaran, sewaktu kecil kita tentu sering mendapat pertanyaan: “Nanti kalau sudah besar mau jadi apa?”. Kebanyakan anak-anak akan menjawab: dokter, insinyur, pengusaha, bahkan presiden. Berapa banyak di antara mereka yang menjawab PNS? Apakah ini artinya tidak ada generasi muda yang ingin menjadi birokrat membangun bangsa ini? Atau mereka ternyata sudah tahu bahwa image PNS memang kurang baik dan parahnya lagi tidak memiliki “nilai jual”. (nilai jual yang dimaksud adalah tingkat kemenarikan profesi tersebut di mata publik)

Dengan gambaran penilaian masyarakat akan pekerjaan PNS seperti itu, mustahil abdi negara bisa menjaring bibit-bibit unggul generasi muda. Pasalnya, PNS belum menjadi pilihan pekerjaan utama mayoritas masyarakat. Untuk itu, sebuah pekerjaan rumah tersendiri bagi pemerintah menciptakan suatu kondisi dimana menjadi PNS merupakan suatu kebanggaan. Suatu kondisi dimana PNS menjadi pekerjaan yang banyak dicari-cari. Memang, setiap seleksi penerimaan CPNS selalu bejubel. Tetapi, banyaknya pelamar belum menjamin bahwa pelamar tersebut termasuk middle atau high quality workers. Alih-alih berkualitas, mekanisme penerimaan CPNS saat ini justru memungkinkan instansi pemerintah “membeli kucing dalam karung”.

Dalam rangka menjadikan pegawai negeri sebagai pekerjaan first class, salah satunya dengan cara menjamin kesejahteraan para pegawai. Tentunya, besaran tunjangan diberikan secara obyektif dengan berbasis kinerja. Jadi, mereka yang bekerja keras mendapat upah setimpal. Dengan demikian, para pekerja berkualitas akan “memburu” posisi bekerja dalam lingkup pemerintahan. Selain jaminan kesejahteraan, diharapkan bekerja sebagai PNS juga memicu kebanggaan tersendiri.

2.Kualitas Pelayanan/Etos Kerja Kalah Dibanding Sektor Swasta

Kualitas aparatur sipil negara (ASN) sejauh ini dinilai belum maksimal, khususnya dalam hal pelayanan publik dan perlakuan konsumen. Mau bukti? Coba masuk ke bank. Begitu tiba di depan pintu, anda akan disambut dengan sekuriti yang menanyakan adakah hal yang bisa dibantu. Setelah mengutarakan maksud dan tujuan pergi ke bank, anda akan diarahkan untuk menunggu antrean. Tak berhenti sampai di situ, ketika dilayani oleh teller maupun customer service (CS), kesan pertama yang ditonjolkan adalah keramahan. Meski datang dengan segudang masalah atau komplain, saat berhadapan dengan wajah penuh senyum dan nada bicara halus, emosi (niscaya) tidak akan meledak-ledak.

Kemudian bandingkan dengan saat pergi ke kantor kelurahan/kecamatan. Begitu memasuki pintu ruangan, kita sendiri yang menanyakan kepada petugas. Kesan ramah yang ada di bank berganti dengan nuansa formal dan kaku ala birokrasi konservatif. Kalimat greeting “selamat pagi dengan Jefry di sini, ada yang bisa dibantu?” jarang terdengar di kelurahan maupun kecamatan. Dikarenakan memang di kantor-kantor pemerintahan belum mempunyai parameter atau standar kalimat pelayanan yang jelas. Termasuk kalimat closing “ada lagi yang lain yang bisa dibantu?” guna menanyakan bilamana warga masih mempunyai problem yang belum terselesaikan.

Memang, tidak semua seperti demikian. Beberapa kantor kelurahan/kecamatan sudah melakukan beberapa inovasi dalam hal pelayanan publik. Hanya saja, inovasi yang dimaksud sejauh ini masih berkutat pada kecanggihan infrastruktur. Sementara, di luar itu ada faktor keramahan dan profesionalitas aparatur yang justru punya efek kedekatan personal sehingga sangat mempengaruhi penilaian masyarakat.

3.Konsekuensi Sanksi Terlalu Ringan, Sementara Target Individu Minim

Salah satu penyebab masih banyak PNS yang kerja santai, mungkin karena tiap individu yang berkerja di instansi pemerintahan tidak dibebani target kerja yang konkret, yang menuntut pegawainya rajin dan mau mengembangkan diri menjadi lebih baik. Di lingkup pemerintahan, kebanyakan seorang pegawai sekadar melaksanakan rutinitas asal anggaran terserap dan “asal bapak senang” (ABS). Terlalu asik dengan budaya tersebut, sehingga tak sedikit yang lupa mengembangkan diri, atau mencoba menggali kreativitas dan inovasi untuk masyarakat. Jadi, wajar jika seorang pegawai negeri merasa tidak punya target khusus yang wajib dilaksanakan. Bandingkan dengan iklim kerja di perusahaan swasta. Apabila seseorang tidak bisa memenuhi target perusahaan, bisa-bisa karirnya dipertaruhkan. Bahkan, ada yang sampai kehilangan pekerjaan karena dinilai tidak mampu memenuhi tuntutan perusahaan.

Sementara, PNS tidak demikian. Hal ini disebabkan sulitnya seorang PNS kehilangan pekerjaannya. Semalas-malasnya PNS paling-paling hanya dimutasi ke instansi lain. Tapi, nyatanya, yang bersangkutan masih bisa bekerja dan menghasilkan pendapatan. Sehingga kemudian muncul pemikiran bahwa “tidak masalah saya kerja santai, paling-paling hanya dipindah. Yang penting saya masih dapat duit bulanan”. Paham inilah yang merusak etos kerja PNS karena memang tidak merasa punya target. Jika demikian, kapan kinerja pemerintahan di negeri ini bisa lebih baik?

Untuk itulah, bangsa ini membutuhkan banyak figur birokrat berintegritas seperti Walikota Surabaya Tri Rismaharini maupun Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Keduanya selama ini dikenal dengan prinsipnya yang teguh, yakni membenahi tata birokrasi menjadi lebih baik. Keduanya juga tak segan memecat anak buahnya yang terbukti melakukan kesalahan yang tidak bisa ditolerir.

Walikota Tri Rismaharini bahkan tercatat sebagai walikota Surabaya yang paling banyak memberhentikan PNS selama periode kepemimpinannya. Penyebabnya pun beragam, dan yang pasti semuanya tergolong pelanggaran berat. Memang, langkah tersebut diperlukan demi membersihkan pemerintahan dari “bibit-bibit penyakit” birokrasi. Sayang, langkah Pemkot Surabaya tersebut sebagian harus kandas karena Badan Pertimbangan Kepegawaian (BAPEK) mengabulkan banding pegawai yang dipecat. Alhasil, segelintir “penyakit” tetap berkeliaran di pemerintahan.

“Tidak apa-apa, pokoknya nanti saya pecat lagi,” kata Risma -panggilanTri Rismaharini- dalam sebuah kesempatan.

Terlepas dari itu semua, tentu harapan kita adalah negeri ini mempunyai birokrat-birokrat yang berintegritas dan berkualitas. Maklum, integritas menjadi sesuatu yang mahal pada zaman sekarang ini. Oleh karenanya, PNS harus “menyalip di tikungan” dengan mengedepankan integritas dalam setiap pekerjaannya. Bermodal integritas, saya optimis kualitas PNS di Indonesia akan lebih baik. Tanda-tanda itu sudah terlihat dengan mulai bermunculannya kepala daerah yang berprestasi. Peran kepala daerah diharapkan bisa mengubah wajah birokrasi.

Di sisi lain, masyarakat dan media juga berperan mengawasi perilaku birokrat. Semoga PNS Indonesia menjadi lebih baik lagi. Bravo birokrat.(jf)

******

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun